ANALISIS TRANSFER PRICING

Dampak Transfer Pricing Penghentian Suku Bunga LIBOR

Senin, 23 September 2019 | 14:10 WIB
Dampak Transfer Pricing Penghentian Suku Bunga LIBOR

Resya Famelia Aniqoh,
DDTC Consulting

MASALAH perpajakan sehubungan dengan pembiayaan intragrup perusahaan multinasional terus menjadi topik hangat selama beberapa tahun terakhir. Perusahaan multinasional dikhawatirkan melakukan arbitrase pajak dengan skema pinjaman intragrup guna mengurangi beban pajak.

Dengan kekhawatiran tersebut, banyak negara dan otoritas pajak kemudian memilih fokus pada langkah-langkah untuk melindungi penerimaan pajak mereka dari perencanaan pajak internasional (Massoner, Storck, dan Stürzlinger, 2012).

Sebagaimana halnya transaksi antara perusahaan afiliasi yang lain, transaksi pembiayaan intragrup tidak terlepas dari isu transfer pricing. Seperti diketahui, pemberi pinjaman (kreditur) mengharapkan imbalan dalam bentuk bunga dari investasinya meminjamkan dana kepada peminjam (debitur).

Dari perspektif peminjam, bunga dapat dianalogikan sebagai harga pembelian atas pinjaman. Apabila pembayaran bunganya melebihi nilai wajar, terdapat indikasi pergeseran laba (profit shifting) dari negara peminjam ke negara pemberi pinjaman (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2013).

Atas kekhawatiran itu, otoritas pajak mewajibkan wajib pajaknya menganalisis kewajaran transaksi pembiayaan intragrup perusahaan. Metode yang biasa digunakan adalah metode perbandingan harga antara pihak yang independen (CUP/CUT) yang dilakukan pada tingkat tarif bunga.

Dalam kasus ini, tarif bunga yang diterima afiliasi dibandingkan dengan tarif bunga dari perjanjian pinjaman yang sebanding dengan perjanjian pihak afiliasi (benchmark). Salah satu suku bunga yang dijadikan acuan dalam menetapkan suku bunga wajar adalah London Interbank Offered Rate (LIBOR).

LIBOR diyakini sebagai suku bunga acuan global yang banyak digunakan dalam menentukan harga berbagai jenis instrumen keuangan (Narang dan Nijhara, 2019). LIBOR merupakan rata-rata indikasi suku bunga pinjaman tanpa agunan antarbank yang dilaporkan bank-bank besar dunia (Corb, 2012).

Namun, pada 2008, terjadi skandal terkait dengan manipulasi pelaporan suku bunga pinjaman oleh bank-bank besar dunia. Bank-bank tersebut diduga menetapkan bunga lebih rendah sehingga mereka tetap untung meski sedang mengalami krisis keuangan.

Sebaliknya, nasabah mendapat keuntungan lebih sedikit dari yang seharusnya. Dengan skandal tersebut, banyak nasabah menggugat bank-bank yang terlibat penipuan suku bunga LIBOR. Akibatnya, banyak pihak mulai meragukan kredibilitas suku bunga tersebut.

Baru-baru ini, regulator keuangan Inggris menekankan LIBOR tidak akan digunakan sebagai suku bunga acuan setelah 2021. Penghentian penggunaan LIBOR tersebut menyebabkan diperlukannya suku bunga alternatif untuk digunakan oleh para pelaku pasar.

Suku Bunga Alternatif
BEBERAPA suku bunga alternatif telah muncul di berbagai negara dengan karakteristik yang berbeda dari LIBOR, salah satunya adalah Secured Overnight Financing Rate (SOFR), suku bunga alternatif yang diterbitkan The Federal Reserve Bank of New York (The Fed) pada 2018.

SOFR menjadi suku bunga acuan baru, mulai dari bunga pinjaman berbasis dolar Amerika Serikat hingga kontrak produk derivatif. SOFR dimaksudkan mengurangi ketergantungan pasar terhadap LIBOR. Bahkan, SOFR ditargetkan menggantikan LIBOR sebagai acuan bunga pasar finansial.

SOFR juga lebih mencerminkan bunga pasar karena ditetapkan berdasarkan transaksi di pasar repo US Treasury yang volumenya bisa mencapai US$800 miliar per hari. Sebaliknya, LIBOR rawan manipulasi, dan karena itu The Fed merilis SOFR sebagai benchmark suku bunga pengganti LIBOR.

Penghentian penggunaan LIBOR memiliki implikasi bagi perusahaan yang menetapkan suku bunga dengan mengacu pada LIBOR. Dalam melakukan transaksi pembiayaan intragrup, beberapa MNE yang menggunakan LIBOR sebagai suku bunga dasar dan memiliki waktu jatuh tempo setelah 2021.

Dalam kasus ini, perusahaan disarankan mengamendemen perjanjian pinjaman mereka dalam menetapkan suku bunga wajar dengan menyesuaikan tingkat bunga berdasarkan suku bunga alternatif yang tersedia.

Selain itu, perusahaan perlu merancang kebijakan dan sistem yang sesuai untuk memastikan transisi manajemen efektif sebelum penggunaan LIBOR dihentikan. Meski 2021 masih beberapa tahun lagi, dampak penetapan tingkat bunga atas penghentian LIBOR membutuhkan perencanaan lebih lanjut.

Pertama, mengidentifikasi perjanjian pinjaman yang menggunakan LIBOR. Kedua, mengadakan perundingan ulang dengan pihak lain mengenai penyesuaian bunga acuan. Ketiga, mempersiapkan amendemen perjanjian pinjaman saat suku bunga alternatif ditentukan dan disepakati secara global.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

24 September 2019 | 04:16 WIB

salam. saya bertanya, apakah ketentuan MAP sebagai salaj sstu opsi penyelesaian sengketa transfer pricing melalui melalui PMK-nya yang baru, tidak menyalahi Pasal 23A UUD? apakah perlu dalam hal menyelesaikan sengketa transfer pricing harus dikeluarkan terlebih dahulu peraturan setara dengan UU.?

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tahapan Pendahuluan untuk Transaksi Jasa dalam Penerapan PKKU

Minggu, 22 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Metode Penentuan Harga Transfer dan Karakteristik Transaksinya

Rabu, 18 Desember 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perlukah Aturan Transfer Pricing di Indonesia Mengadopsi Safe Harbour?

Selasa, 17 Desember 2024 | 11:15 WIB LITERATUR PAJAK

Sisa 3 Hari! Jangan Lewatkan Promo Spesial Akhir Tahun DDTC

BERITA PILIHAN