LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Usulan Regulasi Pajak Baru untuk Pengelolaan Limbah B3

Redaksi DDTCNews | Selasa, 07 November 2023 | 16:07 WIB
Usulan Regulasi Pajak Baru untuk Pengelolaan Limbah B3

Anis Urba Ningrum,
Kabupaten Jombang, Jawa Timur

SUSTAINABLE development atau pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu program prioritas pemerintah yang pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 111/2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Melalui perpres tersebut, pemerintah menetapkan sasaran yang perlu dicapai pada 2024. Jika ditelaah, ada beberapa sasaran yang tampaknya memerlukan perhatian lebih banyak karena berpotensi memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.

Beberapa yang dimaksud adalah peningkatan kontribusi industri manufaktur terhadap PDB dari 19,88% (2020) menjadi 21,00% (2024), kenaikan laju pertumbuhan PDB industri dari -2,93% (2020) menjadi 8,1% (2024), dan peningkatan proporsi nilai tambah industri kecil terhadap total nilai tambah sektor industri.

Ketiga sasaran di atas mendorong pemerintah untuk menyusun regulasi yang mendukung industri agar terus bertumbuh dan berproduksi. Namun, di sisi lain pemerintah juga perlu memastikan regulasi yang disusun bisa mengontrol eksternalitas negatif dari aktivitas industri tersebut. Terlebih, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab merupakan salah satu tujuan dari pembangunan berkelanjutan.

Pemerintah memang telah memiliki kebijakan pajak karbon yang diharapkan mampu mengurangi eksternalitas negatif terhadap lingkungan, khususnya polusi udara. Namun, upaya mengontrol eksternalitas negatif semestinya tidak terbatas pada kualitas udara, tetapi juga kualitas air dan tanah. Apalagi, sebagian besar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dihasilkan oleh sektor industri.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) mencatat, selama 2022, volume limbah B3 yang dihasilkan oleh sektor industri manufaktur, pertambangan, migas, agroindustri, dan medis di Indonesia mencapai 74,73 juta ton. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan volume limbah B3 pada 2021, yakni sebanyak 68,57 juta ton.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat, sepanjang 2021, sebanyak 4.496 desa/kelurahan mengalami pencemaran air dan 1.499 desa/kelurahan mengalami pencemaran limbah B3 yang dihasilkan oleh pabrik. Hal ini harus mendapat perhatian dari pemerintah, apalagi air bersih dan sanitasi layak merupakan salah satu tujuan dari pembangunan berkelanjutan.

Berbeda dengan polutan udara, sebagian limbah B3 masih dapat dikelola lebih lanjut untuk menjadi bahan baku, substitusi bahan baku, substitusi sumber energi dan pemanfaatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) 6/2021.

Pada 2022 misalnya, sebanyak 70,86 juta ton dari 74,73 juta ton limbah B3 berhasil diolah kembali. Volume tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 64,10 juta ton dari 68,67 juta ton limbah B3 yang dikelola.

Sementara itu, sebagian lainnya dari limbah B3 yang tidak dapat dimanfaatkan harus dikelola terlebih dahulu untuk mencapai standar lingkungan tertentu sebelum dilepaskan ke lingkungan.

Bicara mengenai pengelolaan limbah B3 ini, pemerintah bisa memberikan insentif untuk mendukung terlaksananya pemanfaatan dan pengelolaan limbah yang berkualitas. Insentif juga bisa memicu excitement dari pelaku industri dan pengelola limbah B3, serta kontrol atas jumlah limbah B3 yang dihasilkan.

Perlu dicatat, peningkatan volume limbah B3 pada 2024 juga menjadi sasaran dari pembangunan berkelanjutan, sebagaimana tertuang dalam Perpres 111/2022. Secara kumulatif, pemerintah mematok volume limbah B3 yang dikelola pada 2024 mencapai 539,8 juta ton secara kumulatif. Guna mencapai target tersebut, pemerintah bisa menyusun environmental protection tax policy yang mencakup 3 kebijakan baru.

Pertama, pengecualian pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pengelolaan limbah B3. Berdasarkan Pasal 4A ayat (3) dan Pasal 16 ayat (1a) huruf j Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 70//2022, jasa pengelolaan limbah B3 tidak termasuk dalam negative list PPN.

Berdasarkan ketentuan di atas, jasa pengelolaan limbah B3 masih termasuk dalam jasa kena pajak (JKP). Pengalihan jasa pengelolaan limbah B3 menjadi non-JKP bertujuan meningkatkan produktivitas dan menumbuhkan jumlah perusahaan jasa pengolah limbah. BPS mencatat pada 2022 jumlah perusahaan jasa pengolah limbah hanya mewakili 0,42% dari total perusahaan atau badan usaha di Indonesia.

Dengan demikian, diberikannya pengecualian PPN akan menjadi hal yang menarik bagi industri. Pengecualian PPN sekaligus dapat dilihat sebagai reward dari pemerintah kepada perusahaan jasa pengolah limbah karena membantu mengurangi eksternalitas negatif atas lingkungan.

Kedua, menjadikan limbah B3 sebagai bukan barang kena pajak (non-BKP) atau menurunkan tarif PPN untuk penyerahan limbah B3 yang dilakukan secara legal paling rendah 5%. Hal tersebut mengacu pada batasan tarif PPN terendah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP.

Kemudian, berdasarkan Pasal 4A ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1a) huruf j PPN s.t.d.t.d UU HPP, dapat diketahui bahwa limbah B3 tidak termasuk dalam negative list PPN. Artinya, masih terdapat PPN yang terutang dalam transaksi atas penyerahan limbah B3.

Tata cara penyerahan limbah B3 ke pihak lain diatur dalam Permen LHK 6/2021. Sektor industri yang menghasilkan limbah B3 yang tidak dapat dimanfaatkan secara mandiri, tetapi dapat dimanfaatkan oleh industri lain, dapat melakukan jual beli. Contohnya, limbah B3 sludge minyak yang dihasilkan oleh industri perminyakan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif industri semen.

Dengan dijadikannya limbah B3 sebagai non-BKP atau diterapkan penurunan tarif PPN, diharapkan dapat menarik minat pelaku industri yang masih bisa memanfaatkan limbah B3 sebagai alternatif atau substitusi bahan baku.

Ketiga, pengenaan pajak atas volume limbah B3 yang melebihi batas yang diperbolehkan untuk dihasilkan oleh perusahaan. Pembatasan limbah B3 merupakan hal yang mungkin dilakukan dengan cara mengganti penggunaan bahan baku yang menghasilkan limbah B3 dengan bahan baku yang ramah lingkungan.

Sampai saat ini, melalui Permen LHK 6/2021, pemerintah hanya mewajibkan pihak yang menghasilkan limbah B3 untuk melakukan pengurangan limbah B3. Namun, belum ditentukan jumlah limbah B3 yang boleh dihasilkan. Oleh karena itu, pengenaan pajak ini tentunya membutuhkan dukungan regulasi lain yaitu pembatasan jumlah limbah yang boleh dihasilkan perusahaan pada masing-masing karakteristik industri. Dengan penerapan aturan tersebut, diharapkan mampu mengurangi eksternalitas negatif yang dihasilkan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN