Pinurba Anandita
,PEMILIHAN umum di depan mata. Para calon presiden sering berbicara program, tetapi sering lupa cara menghimpun sumber pendanaannya. Pajak, yang selama lebih dari 10 tahun menjadi penopang utama pendapatan negara, patut mendapat perhatian utama.
Transformasi pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebagai institusi penghimpun pajak, diharapkan dapat menopang terwujudnya program-program revolusioner pemerintah ke depan. Di tengah cepatnya perubahan dunia, transformasi tersebut setidaknya memerlukan 5 langkah berikut.
Pertama, manajemen data yang optimal. Dalam konteks ini, bagaimana jika DJP juga bisa dipimpin oleh sosok dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman sains digital? Mari kita tilik efek pandemi covid-19 pada 3 tahun lalu pada dunia kesehatan.
Situasi pandemi covid-19 itu memaksa Kementerian Kesehatan bertransformasi. Jabatan menteri kesehatan secara mengejutkan dipercayakan kepada profesional dengan latar pengalaman pada bidang teknologi dan data.
Hasilnya? Ada kebijakan isolasi mandiri yang bisa dilakukan dengan relatif nyaman. Isolasi mandiri itu dilakukan tanpa mengurangi sisi kemudahan pelayanan dan pengawasan, seperti konsultasi dokter, pengiriman obat, pembayaran, serta pengawasan lanjutan.
Dalam konteks pajak, upaya pemanfaatan dan pengorganisasian data dengan baik masih perlu dioptimalkan. Optimalisasi atas proses integrasi data juga diperlukan sehingga layanan pajak tidak harus melalui kantor pelayanan pajak (KPP) terdaftar.
Terlebih, otoritas pajak sudah memiliki kerja sama pertukaran data dengan berbagai instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain. Selain itu, sudah dimulai juga penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.
Kedua, penyederhanaan organisasi. Berdasarkan pada Laporan Tahunan DJP (2020), otoritas memiliki 46.000 pegawai. Dengan jumlah pegawai tersebut, DJP bisa mempertimbangkan penyederhaan organisasi agar mampu bergerak cepat dan responsif sesuai dengan dinamika eksternal.
Menurut sumber yang sama, DJP memiliki 5.000 pejabat eselon. Artinya, 1 pejabat menaungi 10—11 pegawai. Fungsionalisasi pegawai yang digaungkan Presiden Joko Widodo seharusnya menjadi kesempatan untuk menyederhanakan organisasi.
Melihat lebih luas, usulan pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan bisa jadi merupakan langkah yang selaras dalam mewujudkan organsasi agile sesuai dengan semangat reinventing government, yakni decentralized government (Osborne, Gaebler, 1992). Hal ini bisa terus didorong.
Ketiga, peningkatan layanan berbasis teknologi. Banyak jurnal yang menyebutkan layanan pajak berbanding lurus dengan motivasi membayar pajak. Salah satunya diungkapkan Bayu et al. (2015).
Namun, meski telah banyak layanan elektronik seperti e-pbk, e-reg, e-billing, bahkan aplikasi mobile M-Pajak, sebagian besar dari masyarakat wajib pajak pasti sepakat layanan terpopuler DJP masih sama sejak 2014, yakni e-filing.
Layanan elektronik lain yang dimiliki DJP tampaknya belum terlalu familier untuk kalangan wajib pajak. Di sisi lain, tuntutan teknologi dalam layanan pajak akan meningkat seiring dengan pemindahan ibu kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN) sehingga jarak pusat ekonomi dan pemerintahan lebih jauh.
Kehadiran pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (coretax system) yang dijanjikan rilis awal tahun depan memberikan ekspektasi dan harapan yang tinggi bagi masyarakat. Namun demikian, otoritas tetap perlu mempertimbangkan sejumlah masalah yang sering muncul pada aplikasi.
Saat menerapkan coretax system, otoritas bisa mempertimbangkan sejumlah komentar pada aplikasi, seperti gagal login, aplikasi crash, tidak ada menu pelaporan, tidak bisa meminta EFIN, dan lain-lain. Dengan anggaran senilai Rp413,3 miliar (Laporan Tahunan DJP, 2022) coretax system seharusnya lebih baik.
Selain itu, layanan omnichannel yang menggabungkan proses bisnis seperti pendaftaran, keberatan, penagihan, dan pengawasan misalnya, harus terintegrasi. Adapun integrasi menjadi keharusan agar memudahkan, baik fiskus maupun wajib pajak.
Keempat, peningkatan pengawasan internal dan eksternal. Kasus oknum pegawai pajak beberapa waktu lalu harus dijadikan pelajaran tentang pengelolaan sistem pengawasan yang lebih baik. Banyaknya data yang dimiliki membuat DJP selayaknya menjadi institusi yang disegani.
Namun, untuk menghindarkan penyalahgunaan data, DJP perlu memastikan data tersebut dikelola dengan profesional dan transparan demi mewujudkan penerimaan negara yang optimal.
Di lain sisi, masyarakat dapat berharap banyaknya data dapat menaikan audit coverage ratio untuk menjaga level playing field di antara seluruh pelaku usaha, mikro-kecil sampai besar. Dengan demikian, ekonomi dapat tumbuh di atas prinsip keadilan.
Kelima, formulasi remunerasi. Sejalan dengan transformasi organisasi, pemberian remunerasi yang pantas bagi pegawai pajak berprestasi adalah keniscayaan. Sebaliknya, bagi yang tidak perform, remunerasi dapat dipangkas.
Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah rata-rata jumlah account representative (AR) pada KPP dengan target penerimaan. Remunerasi seharusnya disesuaikan dengan risiko pekerjaan yang dihadapi. Hal ini penting agar talenta-talenta terbaik otoritas yang muncul.
Pada akhirnya, kembali lagi, untuk menjalankan program bombastis perlu anggaran yang fantastis. Hal ini hanya bisa dicapai dengan lompatan transformatif. Jadi, pilih melangkah atau melompat, Bapak-Bapak Capres?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.