LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

'Urip Iku Urup', dari Pajakmu Indonesia Hidup

Redaksi DDTCNews | Jumat, 27 Oktober 2023 | 16:45 WIB
'Urip Iku Urup', dari Pajakmu Indonesia Hidup

Raras Nur Kusumastuti,
Jakarta Selatan, DKI Jakarta

RASA nyaman, menjadi hal yang selalu dicari manusia. Namun, selalu ada harga dari setiap rasa nyaman yang didapat. Salah satu bentuk ongkos dari rasa nyaman adalah pajak.

Mengapa pajak? Kita ambil contoh sederhana. Misalnya, kita membeli semangkuk ramen di restoran yang nyaman sebuah mal. Ketika membayar di kasir, pada nota tercantum 'Pajak Restoran 10%'. Terkadang beberapa orang akan mendengus karena uangnya 'diambil paksa' dengan dalih pajak. Banyak orang tidak rela karena dalam pikiran mereka terbesit stigma bahwa pajak tidak adil dan memberatkan.

Penulis berpandangan stigma negatif tentang pajak muncul disebabkan beberapa faktor. Pertama, masyarakat merasa dipaksa untuk menyerahkan uangnya kepada pemerintah. Kedua, fasilitas yang didapat oleh publik tidak sesuai dengan pajak yang dibayarkan. Ketiga, jumlah pajak yang dibayar tidak sesuai dengan kerelaan hati.

Kerisauan publik sebenarnya menggambarkan definisi dari istilah pajak itu sendiri. Mengutip Undang-Undang (UU) KUP s.t.d.t.d UU HPP, pajak diartikan sebagai kontribusi wajib dari orang atau badan terhadap negara, yang sifatnya memaksa sesuai dengan undang-undang tanpa adanya imbalan secara langsung. Sesuai dengan UU pula, pajak tersebut oleh pemerintah dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Namun, memahami pajak tidak bisa hanya dari definisinya. Dalam kehidupan bernegara, pemerintah tidak semestinya membuat sebuah kebijakan yang merugikan masyarakat. Untuk mendukung kondisi yang adil dan seimbang, sistem pajak di Indonesia sebenarnya telah menerapkan asas equality (Adam Smith), seperti penerapan di negara manapun.

Secara singkat, asas equality menuntut pungutan pajak yang dilakukan harus sesuai dengan kemampuan ekonomis setiap warga negaranya. Namun, seideal apapun pemungutan pajak, tak bisa dimungkiri bahwa pandangan kontra terhadap pajak tetap ada.

Pajak sejatinya bukan perkara suka atau tidak suka. Bagaimanapun, pajak merupakan tonggak keberlangsungan sebuah negara. Pada 2022, pendapatan negara terkumpul Rp2.626,4 triliun. Sejumlah Rp2.034,5 triliun di antaranya bersumber dari penerimaan pajak.

Ya, 77% uang negara adalah hasil gotong royong rakyat melalui pajak. Konsep gotong royong cocok disematkan terhadap pajak karena kontribusi setiap individu visa berbeda-beda. Pajak yang dibayarkan disesuaikan dengan besaran penghasilan, harta, fasilitas, dan dampak ke lingkungan sekitar.

Katakanlah penghasilan kita senilai Rp5 juta per bulan. Dengan perhitungan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan, besaran pajak penghasilan (PPh) yang disetorkan dalam setahun adalah Rp300.000.

Selain PPh, ada juga pajak yang sifatnya hanya dikenakan terhadap kondisi tertentu. Seperti contoh di atas, makan di restoran dengan pelayanan dan fasilitas yang nyaman bakal dikenai pajak restoran. Sementara itu, makan di pujasera tidak dikenai pajak restoran.

Bisa dipahami, pajak restoran yang dibayarkan pelanggan adalah ongkos yang dikeluarkan untuk memperoleh rasa nyaman dan fasilitas dari restoran. Tentunya, individu yang disasar adalah pelanggan yang memang memiliki kemampuan ekonomis untuk menikmati makanan di restoran. Berbeda dengan pelanggan pujasera yang tidak perlu membayar pajak restoran.

Jika dilihat lebih cermat, di sinilah letak keadilan pajak yang dibahas di awal tulisan ini. Negara, melalui otoritas pajak, telah menyusun mekanisme pemungutan perpajakan yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomis rakyatnya. Siapa yang harus bayar pajak, berapa jumlahnya, dan apa saja yang bisa dikenai pajak sudah diatur.

Masyarakat sebenarnya tidak perlu khawatir uang pajaknya dirampas secara paksa. Pada akhirnya, uang pajak yang kita bayarkan akan menjadi modal bagi negara untuk melakukan pembangunan. Pajak yang dibayarkan bisa menjadi cahaya bagi bangsa ini, meski cahaya itu tidak bisa muncul secara kontan.

Politik untuk Kebijakan Pajak

Butuh cahaya dalam intensitas tinggi untuk menerangi Indonesia dengan 278 juta penduduk. Karenanya, pemerintah butuh modal penerimaan pajak yang besar pula untuk bisa 'menerangi' seluruh rakyatnya secara adil. Salah satu kuncinya adalah kemauan politik dari organisasi pemerintahan dalam menyusun kebijakan pajak.

Menurut teori klasik Aristoteles, pajak adalah sebuah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam politik, intelektualnya akan berkongsi untuk membentuk sebuah organisasi yang kita kenal sebagai partai politik.

Berbarengan dengan tahun politik, masyarakat kini bisa menyaksikan banyaknya tokoh politik yang menyodorkan visi-misinya sesuai dengan preferensi rakyat. Janji-janji politik bermunculan. Namun, dari mana modal untuk mewujudkan seluruh janji politik tersebut?

Menyusun kontrak politik memang mudah, tetapi parpol harus memahami bahwa perlu disiapkan juga strategi untuk memenuhi pundi-pundi pendapatan negara demu merealisasikan janji politik yang diteken bersama rakyat. Dengan kata lain, pajak yang berkeadilan bisa lahir dari sistem politik yang berkeadilan pula.

Meramaikan tahun politik, kandidat capres-cawapres agaknya perlu mengampanyekan pentingnya peran pajak dalam keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Barangkali membayar pajak bukan hal nyaman kita lakukan, tetapi pajak yang terkumpul adalah modal untuk membangun rasa nyaman bagi kita nantinya.

Untuk memahami pajak, kita perlu menyadari bahwa hidup tidak melulu tentang diri sendiri. Ingat, urip iku urup. Pepatah Jawa ini menyadarkan kita bahwa hidup di dunia ini perlu diisi dengan menolong dan membantu tanpa pamrih. Dengan begitu, pajak bukan lagi 'harga sebuah rasa nyaman', tetapi 'cahaya untuk menerangi jalan bagi sesama'.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Ikhsan 04 November 2023 | 05:29 WIB

setujuu....pada dasarnya perubahan besar itu dimulai dari hal-hal kecil, seperti halnya pengertian masyarakat terhadap pajak, semoga adanya artikel ini bisa merubah pengertian serta sudut pandang masyarakat terhadap pajak. Bravo mba rarasss✊✊✊

Roni 01 November 2023 | 19:24 WIB

betul... jadi mengerti makna pajak

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN