Fariz Chandra Ramadhan
, Depok, Jawa BaratPANDEMI Covid-19 membuat segala aspek dalam kehidupan menuru, termasuk pada sektor ekonomi di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III/2020 hingga minus 3,49% (yoy). Akibatnya, Indonesia resmi memasuki era resesi.
Resesi ini juga menyebabkan menurunnya omzet perusahaan. Sejak PSBB mulai diberlakukan April 2020 di DKI Jakarta, beberapa sektor seperti perhotelan, ritel, transportasi, hiburan, kecantikan, MICE, hingga properti harus mengalami dampak negatif lebih besar dari sektor usaha lainnya.
Akibatnya, omzet sektor tersebut menurun dan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada karyawannya. Pekerja yang terkena PHK ini menurun kemampuannya memenuhi kebutuhan karena kehilangan sumber penghasilan dan mengakibatkan omzet sektor usaha lain menurun.
Menurunnya omzet tersebut lalu berimbas pada penurunan penerimaan pajak. Hingga Juni 2020, penerimaan pajak terealisasi 44,4% atau sebesar Rp531,7 triliun. Dengan menurunnya penerimaan pajak ini, pembangunan infrastruktur yang direncanakan sudah pasti akan terhambat.
Mengingat resesi yang terjadi, setidaknya negara harus menyiapkan upaya pemulihan terhadap tingkat penerimaan pajak pasca pandemi Covid-19. Setidaknya ada tiga langkah yang dapat dijalankan dalam upaya pemulihan jumlah penerimaan pajak jika pandemi ini selesai (Cheisviyanny, 2020).
Pertama, mengoptimalisasikan sistem pemungutan pajak withholding tax. Sederhananya, withholding tax adalah sistem pemungutan pajak yang wajib pajak memberikan wewenang/mandat kepada pihak ketiga sebagai pemungut/pemotong pajak.
Tentu sistem ini akan mengefisiensikan biaya pemungutan pajak. Namun, sistem ini juga mewajibkan seluruh wajib pajak yang memiliki penghasilan baik di dalam maupun luar negeri, mengingat sistem ini menganut asas domisili dan sumber, serta prinsip world-wide income.
PPh Final Non-UMKM
Kedua, mengenakan pajak penghasilan (PPh) final kepada wajib pajak non-usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sebagaimana PPh yang dikenakan pada wajib pajak UMKM. Hal ini perlu agar wajib pajak non-UMKM bisa lebih mudah berkontribusi membayar pajak.
PPh final juga memberikan fleksibilitas tinggi pada wajib pajak. terlebih jika disinkronisasikan dengan sistem pemungutan withholding tax. Sudah tentu ini akan meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pajak. Namun, bukan berarti PPh final ini tidak memiliki kelemahan sama sekali.
PPh final dianggap tidak adil kepada wajib pajak termasuk bagi wajib pajak yang memiliki kerugian usaha. Karena itu, diperlukan adanya proses pengawasan terhadap wajib pajak dalam menggunakan e-faktur dan perubahan aset pribadi wajib pajak.
Ketiga, melakukan efisiensi biaya pengumpulan pajak. Efisiensi ini dilakukan dengan cara mengawasi secara ketat penggunaan e-faktur, rekening koran/bank, aset pribadi wajib pajak, serta melakukan analisis terhadap laporan keuangan dan sosialisasi kepada wajib pajak.
Hal ini dilakukan guna meminimalisir sengketa pajak yang selalu menjadi problematika setiap tahun. Dari 2017 sampai 2019, sengketa pajak terus menunjukkan tren peningkatan. Pada 2019 mencapai 12.882 berkas.
Hal inilah yang harus menjadi prioritas dengan cara meminimalisasi kasus sengketa pajak, terutama dengan mengingat prediksi banyaknya berkas surat pemberitahuan (SPT) rugi/lebih bayar yang akan meningkat tahun depan. (Cheisviyanny, 2020)
Tentu ketiga langkah tersebut adalah masukan dalam membuat kebijakan pemulihan ekonomi melalui penerimaan pajak. Namun, alangkah baiknya jika hal tersebut bisa dipertimbangkan sehingga otoritas pajak mampu menjalankan kebijakan yang relevan dengan keadaan resesi saat ini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
mantap euy
sangat menambah wawasan. good article👍
good artikel
artikel bagus yg memberi wawasan