Pertanyaan:
SAYA membaca artikel di DDTCNews berjudul 'Ini 6 Syarat Memperoleh Manfaat P3B di Indonesia'. Dari artikel tersebut saya baru menyadari adanya aturan domestik baru di Indonesia dalam rangka penerapan P3B yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-10/PJ/2017 yang mencabut PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010 dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010. Mohon dijelaskan apa perbedaan PER-10/PJ/2017 dengan ketentuan yang dicabutnya tersebut dan juga bagaimana teknis untuk memenuhi ketentuan tersebut (compliance)?
Reza, Tangerang.
Jawab
TERIMA kasih Bapak Reza atas pertanyaannya. PER-10/PJ/2017 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang baru mulai berlaku pada 1 Agustus 2017, merupakan ketentuan yang dibentuk berdasarkan kewenangan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (selanjutnya disebut ‘PP 94/2010’) kepada Dirjen Pajak guna mengatur mengenai tata cara penerapan P3B.
Konsideran ‘Menimbang’ pada huruf e serta Pasal 13 angka 2 dan 3 PER-10/PJ/2017, menyatakan bahwa ketentuan ini mencabut ketentuan sebelumnya, yaitu PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010 mengenai tata cara penerapan P3B dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010 mengenai pencegahan penyalahgunaan P3B.
PER-10/PJ/2017 ini adalah penggabungan dan penyempurnaan dari 4 (empat) ketentuan sebelumnya yang dinyatakan dicabut dan tidak berlaku sejak berlakunya ketentuan ini. Ketentuan ini juga diterbitkan sebagai jawaban atas banyaknya sengketa terkait pajak internasional akibat dari ketentuan sebelumnya yang multitafsir, serta sebagai update atas anti-avoidance rules kontemporer.
Secara garis besar, berikut adalah perbedaan krusial yang perlu diperhatikan antara PER-10/PJ/2017 dengan ketentuan sebelumnya (PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010 dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010):
PER-10/PJ/2017 menggabungkan ketentuan PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010 dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010, sehingga mengakomodir sekaligus ketentuan mengenai tata cara penerapan P3B dan juga pencegahan penyalahgunaan P3B. Dengan demikian sudah tidak perlu lagi melihat 2 (dua) macam ketentuan yang berbeda dalam rangka menerapkan P3B di Indonesia.
PER-10/PJ/2017 diterbitkan berdasarkan perintah dan kewenangan dari Pasal 24 ayat (2) PP 94/2010, sebagaimana dinyatakan dalam konsideran ‘Menimbang’ huruf d. Perlu diketahui bahwa ketentuan sebelumnya yaitu PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010 dan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010, tidak diterbitkan berdasarkan kewenangan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga banyak sengketa terjadi karena ketentuan tersebut dianggap bukanlah peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Tentunya dengan dinyatakan secara tegas payung hukum dari penerbitan PP 94/2010, maka ketentuan ini memenuhi kriteria peraturan perundang-undangan yang mengikat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
PER-10/PJ/2017 menambahkan beberapa kriteria untuk dapat menerapkan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai ketentuan P3B (vide Pasal 2 ayat (2) PER-10/PJ/2017 dan vide Pasal 3 ayat (1) PER-61/PJ/2009) dari yang sebelumnya hanya 3 (tiga) kriteria (vide Pasal 3 ayat (1) PER-61/PJ/2009).
Pasal 9 ayat (1) PER-10/PJ/2017 mengatur mengenai penerapan GAAR berupa PPT yang sebelumnya tidak diterapkan dalam PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010. PER-10/PJ/2017 menegaskan bahwa apabila tujuan utama atau salah satu tujuan utama transaksi adalah untuk mendapatkan manfaat P3B, maka ketentuan P3B tidak dapat diterapkan. Hal ini berbeda dengan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010, dimana Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b membatasi definisi penyalahgunaan P3B hanya pada transaksi yang semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B. Dengan demikian dapat disimpulkan GAAR dalam PER-10/PJ/2017 lebih luas ketimbang PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010.
Beneficial Owner disebut baik dalam PER-10/PJ/2017 maupun PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010. Pasal 10 ayat (1) PER-10/PJ/2017 membagi definisi Beneficial Owner berdasarkan wajib pajak luar negeri (WPLN) orang pribadi dan WPLN badan, dimana hal ini tidak diatur eksplisit dalam PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010. Kemudian perbedaan kriteria Beneficial Owner antara PER-10/PJ/2017 dengan PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010 dapat disandingkan sebagai berikut:
No.
PER-10/PJ/2017
PER-62/PJ/2009 jo. PER-25/PJ/2010
1
WPLN orang pribadi tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee
Bertindak tidak sebagai Agen atau Nominee
2
WPLN badan tidak bertindak sebagai Agen, Nominee, atau Conduit
Bukan Perusahaan Conduit
3
WPLN badan mempunyai kendali untuk menggunakan atau menikmati dana, aset, atau hak yang mendatangkan penghasilan dari Indonesia
Kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi
4
WPLN badan tidak lebih dari 50% penghasilan badan digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain
Perusahaan mempunyai pegawai
5
WPLN badan menanggung risiko atas aset, modal atau kewajiban yang dimiliki
Mempunyai kegiatan atau usaha aktif
6
WPLN badan tidak mempunyai kewajiban baik tertulis maupun tidak tertulis untuk meneruskan sebagian atau seluruh penghasilan yang diterima dari Indonesia kepada pihak lain
Penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya
7
Tidak menggunakan lebih dari 50% dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya
PER-10/PJ/2017 cukup banyak mengubah template Formulir SKD baik Form DGT-1 maupun Form DGT-2, dibandingkan yang diatur dalam PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010. Perubahan template formulir ini juga berdampak pada berubahnya petunjuk pengisian.
Pasal 4 ayat (1) PER-10/PJ/2017 mengatur hal yang sama dengan Pasal 9 ayat (1) PER-61/PJ/2009 bahwa pemotong/pemungut pajak wajib menyampaikan SKD WPLN sebagai lampiran SPT Masa. Namun demikian, Pasal 4 ayat (3) PER-10/PJ/2017 memberikan ruang kemudahan kepada pemotong/pemungut pajak untuk menyampaikan secara elektronik SKD WPLN tersebut, di mana hal ini tidak diatur oleh ketentuan sebelumnya. Media elektronik yang dimaksud untuk penyampaian SKD secara elektronik tersebut, adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan PER-01/PJ/2017.
Pasal 12 PER-10/PJ/2017 mengatur bahwa untuk dapat menerapkan ketentuan P3B selain ketentuan pemotongan/pemungutan PPh, WPLN harus menyerahkan CoR kepada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, tempat kegiatan usaha atau tempat kedudukan WPLN di Indonesia. Ketentuan ini tidak ada di dalam PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010.
Pasal 5 ayat (1) s.d. (3) PER-10/PJ/2017 membatasi hak WPLN untuk tetap menerima manfaat P3B melalui mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, menjadi hanya apabila terjadi kesalahan penerapan P3B atau SKD WPLN telat disampaikan. Hal ini jelas berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam Pasal 6 PER-61/PJ/2009, dimana kriterianya lebih luas yakni apabila persyaratan administratif (vide Pasal 3 ayat (1) huruf b PER-61/PJ/2009) tidak terpenuhi.
Pasal 5 ayat (4) PER-10/PJ/2017 mengatur mengenai hak MAP kepada WPLN dalam hal WPLN tidak menerima manfaat P3B dan pemotong/pemungut tidak menyampaikan SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak atas penghasilan tersebut. Hal ini tidak diatur di dalam PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010.
Huruf A Angka 11 Poin f PER-10/PJ/2017 mengatur mengenai kewajiban kustodian untuk menyampaikan Form DGT-2 asli dalam hal dilakukannya pelaksanaan pengawasan kepatuhan wajib pajak dan keperluan lainnya sebagaimana disebutkan dalam ketentuan tersebut.
Pasal 11 dan Huruf A Angka 10 Lampiran PER-10/PJ/2017 mengatur bahwa untuk WPLN yang merupakan lembaga yang namanya disebutkan secara tegas dalam P3B atau yang telah disepakati Indonesia dan negara mitra P3B, agar dapat menerima manfaat P3B (treaty benefit) wajib untuk menyampaikan Certificate of Origin (COR) atau surat keterangan dari otoritas pajak negara mitra P3B. Hal ini berbeda dengan bunyi ketentuan Pasal 4 ayat (7) PER-24/PJ/2010 yang tidak mewajibkan hal tersebut.
Huruf A Angka 14 PER-10/PJ/2017 mewajibkan penyimpanan dokumen CoR WPLN oleh pemotong/Pemungut Pajak. Hal ini tidak diatur eksplisit di dalam PER-61/PJ/2009 jo. PER-24/PJ/2010.
Demikian penjelasan kami untuk perbedaan antara ketentuan PER-10/PJ/2017 dengan ketentuan sebelumnya yang dinyatakan dicabut dan tidak berlaku oleh PER-10/PJ/2017 tersebut. Kemudian untuk teknis compliance dalam menerapkan ketentuan dalam P3B (treaty benefit) berdasarkan PER-10/PJ/2017, yang perlu menjadi perhatian adalah pemenuhan ketentuan substantif (substance) dan administratif (form) dalam menerapkan P3B. Ketentuan tersebut dapat diuraikan langkah demi langkah sebagai berikut:
Mekanisme pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut berlaku sepanjang tidak terjadi penyalahgunaan P3B dan SKD WPLN yang disampaikan memenuhi persyaratan administratif (vide Pasal 6 ayat (1) huruf a s.d. e PER-10/PJ/2017) dan persyaratan tertentu lainnya (vide Pasal 8 PER-10/PJ/2017).
Demikian jawaban kami semoga dapat membantu. (Disclaimer)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
penjelasan dari pasal 12 PER-25/PJ/2018 terkait P3B berserta contoh nya.
penjelasan dari pasal 10 ayat 5&6 PER-25/PJ/2018 terkait P3B beserta contohnya.