Alamanda
,Sebanyak empat orang terkaya di Indonesia memiliki harta lebih banyak dibandingkan dengan 100 juta warga termiskin di Indonesia. Sebuah fakta mencengangkan hasil penelitian Oxfam Indonesia (2017) ini mengindikasikan masih tingginya ketimpangan kekayaan (wealth inequality) di Tanah Air.
Pajak, sebagai alat distribusi dan pemerataan pendapatan, seyogyanya memiliki peranan penting dalam memperkecil ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Lantas, apakah progresivitas sistem perpajakan Indonesia saat ini sudah cukup memihak rakyat kecil, atau justru sebaliknya?
Di satu sisi, sistem atas penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan (PPh) nonfinal, seperti gaji dan upah, memang sudah cukup progresif. Progresivitas ini makin intensif setelah diterbitkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Tarif tertinggi PPh Pasal 17 dinaikkan menjadi 35% untuk penghasilan kena pajak orang pribadi di atas Rp5 miliar per tahun. Pemerintah juga telah mengubah pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan dari level pemberi kerja (non-deductible expense) menjadi ke level penerima penghasilan (taxable income).
Di sisi lain, masih ada ruang perbaikan untuk sistem atas penghasilan yang dikenakan PPh final (passive income).
ADA beberapa permasalahan yang perlu ditinjau. Pertama, tarif pajak efektif PPh final relatif lebih kecil daripada tarif teratas pajak progresif. Contoh, tarif atas penghasilan dividen 10%, bunga tabungan dan deposito 20%, keuntungan penjualan tanah dan/atau bangunan 5%, serta keuntungan penjualan saham hanya 0,1%.
Meskipun beberapa dasar pengenaan pajak atas passive income menggunakan penghasilan bruto, tarif efektif PPh final saat ini secara rata-rata masih berada di bawah tarif pajak progresif batas teratas 35%. Selisih tarif ini dapat dikatakan sebagai insentif bagi high net worth individuals (HNWI).
Kedua, tarif PPh final yang bersifat tunggal juga kurang mencerminkan progresivitas. Contoh, penghasilan bunga deposito, baik senilai Rp1 juta maupun Rp1 miliar, akan dikenakan tarif pajak yang sama sebesar 20%.
Ketiga, sebagian aturan PPh final dinilai sudah outdated. Contoh, Peraturan Pemerintah (PP) 14/1997 terkait dengan PPh final atas keuntungan penjualan saham yang belum pernah diperbarui selama 20 tahun terakhir. Aturan ini dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan dunia saham yang makin pesat.
Keempat, sistem perpajakan yang berlaku sekarang di Indonesia memungkinkan capital gain yang diperoleh HNWI tidak tersentuh pajak selama bertahun-tahun. HNWI dapat memilih untuk tidak akan pernah menjual asetnya, sehingga capital gain yang diperoleh tidak terealisasi dan terhindar dari pengenaan pajak.
Jika HNWI membutuhkan uang kas dalam jumlah yang besar, mereka memiliki banyak opsi selain menjual asetnya. Contoh, CEO Oracle Larry Ellison menggunakan saham Oracle miliknya sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman kredit senilai US$10 miliar (Business Insider US, 2014).
Hal tersebut memungkinkan perolehan uang kas tanpa menjual aset, sehingga terhindar dari pengenaan pajak. Nilai saham juga dapat terus berkembang. Walaupun harus membayar bunga atas pinjaman tersebut, cara itu lebih murah daripada menjual aset dan harus membayar pajaknya.
BERPIJAK dari beberapa permasalahan tersebut, ada sejumlah rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan. Pertama, reformasi sistem pemajakan atas passive income.
Reformasi ini dapat dilakukan dengan cara mengubah tarif tunggal PPh final menjadi tarif progresif layaknya tarif dalam PPh Pasal 17. Kebijakan ini tentunya akan lebih mencerminkan asas keadilan karena besarnya tarif PPh final akan disesuaikan dengan besarnya passive income yang diterima.
Solusi lainnya adalah dengan mengklasifikasikan passive income ke dalam penghasilan yang dikenakan PPh nonfinal. Dengan mengadopsi sistem ini maka asas keadilan pengenaan pajak atas passive income dan gaji/upah akan lebih terjamin.
Namun demikian, perubahan sistem ini akan meningkatkan risiko penghindaran pajak. Hal ini dikarenakan pajak atas passive income tidak langsung dipotong oleh pemberi penghasilan, tetapi dilaporkan sendiri secara self-assessment dalam SPT Tahunan.
Kedua, pengenaan market-to-market tax terhadap capital gain. Dengan sistem ini, capital gain yang diperoleh HNWI dari asetnya akan dikenakan pajak tanpa memedulikan apakah aset tersebut sudah dijual atau belum.
Kebijakan tersebut dapat digunakan untuk mengurangi insentif penundaan realisasi capital gain yang biasa dilakukan HNWI. Namun demikian, tantangan dalam market-to-market tax system adalah timbulnya kebutuhan untuk melakukan penilaian atas kenaikan nilai aset setiap tahun.
Jika pemerintah memang serius ingin mengoptimalkan penerimaan pajak HNWI, sistem perpajakan yang perlu dibenahi adalah pengenaan pajak atas passive income. Hal ini dikarenakan 75% penghasilan HNWI berasal dari passive income berupa penghasilan dividen, bunga, serta keuntungan penjualan saham dan tanah/bangunan (CNBC, 2015).
Terlebih lagi, The Guardian (2020) melansir informasi sebanyak 83 kelompok Ultra-HNWI di dunia sudah mengirimkan surat terbuka. Surat itu berisi permintaan agar pajak mereka ditingkatkan sebagai bentuk kontribusi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19.
Jika HNWI sendiri sudah memberikan lampu hijau untuk berkontribusi lebih, lantas apalagi yang ditunggu otoritas perpajakan?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.