Pertanyaan:
PERKENALKAN, nama saya Robert. Saat ini saya bekerja sebagai staf pajak satu perusahaan multinasional yang beroperasi di Jakarta. Baru-baru ini, saya mendengar rencana pemerintah untuk memperkenalkan ketentuan antipenghindaran pajak berupa general anti-avoidance rule (GAAR).
Yang saya pahami, Indonesia sudah memiliki ketentuan antipenghindaran pajak. Lantas, apa yang membedakannya? Saya juga masih bingung dengan konsep GAAR itu sendiri seperti apa dan bagaimana penerapannya. Adakah contoh di negara lain? Mohon informasinya.
Robert, Jakarta.
Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Robert atas pertanyaannya. Rencana pengenalan ketentuan antipenghindaran pajak yang bersifat umum atau GAAR memang menjadi salah satu materi perubahan dalam RUU KUP. Namun, rencana tersebut masih didiskusikan pada level pemerintah dan DPR.
Terkait dengan pertanyaan Bapak, saat ini Indonesia pada dasarnya sudah memiliki ketentuan antipenghindaran pajak. Namun demikian, ketentuan antipenghindaran pajak tersebut masih bersifat spesifik atau disebut specific anti-avoidance rule (SAAR), sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 18 UU PPh.
Secara konsep, regulasi SAAR hanya menyasar skema-skema penghindaran pajak tertentu saja. Contohnya adalah transfer pricing, thin capitalization, controlled foreign companies, dan sebagainya. Namun, dalam praktiknya, skema penghindaran pajak makin kompleks dan biasanya berada di luar cakupan SAAR. Simak juga ‘Memahami Ketentuan Antipenghindaran Pajak: GAAR & SAAR’
Oleh sebab itu, selain memiliki regulasi SAAR, beberapa negara telah mengadopsi regulasi mengenai GAAR sebagai instrumen mencegah penghindaran pajak. Dalam satu dekade terakhir, penerapan SAAR kian menjadi tren global, seiring dengan makin gencarnya upaya memerangi praktik penghindaran pajak. Simak juga artikel ‘Begini Tren Penerapan General Anti-Avoidance Rule secara Global’.
Secara umum, GAAR dapat didefinisikan sebagai ketentuan antipenghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata ditujukan untuk penghindaran pajak atau transaksi yang tidak memiliki substansi bisnis (Darussalam dan Septriadi, 2017).
Dalam ketentuan GAAR, umumnya otoritas pajak berhak menentukan kembali besaran pajak yang seharusnya terutang. Caranya dengan menolak komponen pengurang, penundaan pembayaran, penambahan kredit pajak, penurunan tarif, atau bentuk manfaat pajak yang diperoleh dari suatu penghindaran pajak secara agresif (Waerzeggers dan Hillier, 2016).
Perlu dipahami pula regulasi mengenai GAAR biasanya diterapkan untuk skema perencanaan pajak agresif yang bertujuan untuk memanfaatkan celah hukum yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perpajakan. Adapun skema penggelapan pajak (tax evasion) umumnya berada di luar cakupan aplikasi GAAR.
Selain itu, menurut Krever (2016), penerapan GAAR di berbagai negara masih sangat beragam bentuknya. Namun, biasanya terdapat kriteria tertentu dalam mengidentifikasi transaksi yang dianggap semata-mata dilakukan untuk penghindaran pajak. Pada umumnya, motif tersebut dinilai dari ada atau tidaknya substansi bisnis dari suatu transaksi (Johansson, et al 2016).
Selain itu, regulasi GAAR setidaknya dapat dilihat dari dua tipe, yaitu judicial GAAR dan statue based GAAR. Dalam judicial GAAR, prinsip-prinsip penerapan GAAR tidak dikodifikasikan dalam legislasi atau undang-undang, tetapi dibangun berdasarkan pada putusan pengadilan (judicial precedents). Contohnya adalah Gregory case di Amerika Serikat (1934) dan Ramsay case di Inggris (1982).
Adapun statue based GARR merupakan versi judicial GAAR yang diperluas dan dikodifikasi dalam undang-undang. Dengan kata lain, tipe ini memberikan pengakuan hukum terhadap prinsip-prinsip yang ditetapkan judicial GARR (Charkha, 2018). Hal ini sebagaimana diterapkan di Australia (1915), Belanda (1924), dan Singapura (1988).
Pada umumnya, GAAR mengandung elemen penting seperti business purpose test, seperti yang telah diimplementasikan di Spanyol atau seperti tidak diperbolehkannya elemen artifisial (inadequate transaction) di Jerman (Taboda, 2016). Sementara itu, di Inggris, ketentuan GAAR diberlakukan apabila terdapat pengaturan yang dianggap sebagai ‘abusive tax arrangement’.
Dengan demikian, dapat disimpulkan pengaturan regulasi mengenai GAAR berbeda di setiap negara. Namun, dalam desain kebijakanya, terdapat kriteria penilaian untuk menguji apakah suatu transaksi yang dilakukan wajib pajak semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau tidak.
Demikian jawaban kami. Semoga membantu.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.