RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Sewa Bangunan Berupa BTS Tower Dipungut PPh Pasal 4 ayat (2)

Hamida Amri Safarina | Rabu, 18 November 2020 | 17:14 WIB
Sengketa Sewa Bangunan Berupa BTS Tower Dipungut PPh Pasal 4 ayat (2)

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai sewa tanah dan/atau bangunan berupa base transceiver station (BTS) tower yang dipungut pajak penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2).

Otoritas pajak menyatakan bahwa sewa BTS tower termasuk dalam kegiatan sewa tanah dan/atau bangunan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2). Dalam hal ini, otoritas pajak menemukan adanya transaksi sewa BTS tower yang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) sehingga wajib pajak kurang bayar pajak.

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan berdasarkan Surat dari DJP No. S-697/PJ.032/2008, sewa BTS tower bukan merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2), melainkan objek PPh Pasal 23. Konsekuensinya, sewa BTS tower tersebut dikenakan tarif sebesar 3%. Sebab, wajib pajak termasuk kualifikasi usaha besar berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008.

Baca Juga:
Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan BTS tower termasuk dalam jenis bangunan yang secara khusus dikenakan PBB berdasarkan UU No. 12 tahun 1985 s.t.d.t.d. UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (UU 12/1994).

Baca Juga:
Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Dalam perkara ini, koreksi DPP PPh Pasal 4 ayat (2) yang dilakukan otoritas pajak atas transaksi sewa tanah dan/atau bangunan berupa BTS tower tidak dapat dipertahankan.

Selanjutnya, terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39906/PP/M.XI/25/2012 tanggal 30 Agustus 2012, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 14 Desember 2012.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 4 ayat (2) senilai Rp556.840.909 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Berdasarkan penelitian, Pemohon PK menemukan adanya transaksi sewa BTS tower yang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT).

Menurut Pemohon PK, BTS tower masuk dalam definisi bangunan atau konstruksi teknik yang ditanamkan dan dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Pendapat Pemohon PK tersebut sesuai dengan Pasal 1 angka 2 UU 12/1994. BTS tower merupakan bagian dari objek pajak yang memiliki jenis kontruksi khusus. Ditinjau dari segi material pembentuk ataupun keberadaannya memiliki arti khusus.

Karena BTS tower masuk dalam kategori bangunan maka penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kegiatan sewa dapat terutang PPh Pasal 4 ayat (2). Dalam kasus ini, berdasarkan PP No. 5 Tahun 2002, besaran tarif yang ditentukan atas sewa BTS tower tersebut ialah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.

Baca Juga:
Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

Selain itu, berdasarkan risalah pembahasan akhir dan berita acara akhir hasil pemeriksaan, Termohon PK telah menyatakan setuju atas koreksi yang dilakukan Pemohon PK. Menurut keterangan account representative, Termohon PK juga menyebutkan tidak akan mengajukan keberatan dan banding.

Oleh karena itu, sebenarnya Termohon telah setuju sewa BTS tower dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2). Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Termohon PK menyatakan tidak setuju terhadap pendapat Pemohon PK. Termohon PK berdalil telah melaporkan PPh Pasal 4 ayat (2) dengan tepat. Menurut Termohon PK, berdasarkan Surat dari DJP No. S-697/PJ.032/2008, sewa BTS tower bukan merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2), melainkan objek PPh Pasal 23.

Baca Juga:
Sengketa PPh Orang Pribadi Pasca Mendapat Hibah Properti

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008, Termohon PK termasuk penyedia jasa konstruksi dengan kualifikasi usaha besar. Dengan begitu, tarif yang ditetapkan atas sewa BTS tower tersebut seharusnya sebesar 3%.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK yang diajukan Pemohon dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Mahkamah Agung, putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan BTS tower merupakan bangunan dan secara khusus hanya dikenakan PBB berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU 12/1994 adalah tidak tepat.

Baca Juga:
Sengketa atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan

Secara umum, transaksi sewa tanah dan/atau bangunan untuk BTS tower dapat dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2). Mahkamah Agung telah membaca dan mempelajari jawaban memori PK dari Termohon. Namun, dalam memori PK dari Termohon tersebut tidak ditemukan hal-hal yang dapat melemahkan alasan PK dari Pemohon PK.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung menilai terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan PK dan membatalkan putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39906/PP/M.XI/25/2012. Dengan demikian, Termohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.*

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

18 November 2020 | 20:59 WIB

Dalam kasus ini Termohon PK sedari awal juga salah, karena melakukan pemotongan PPh Pasal 23 tapi sebesar 3% (mengikuti tarif jasa konstruksi yang dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2)), sehingga jelas tidak tepat.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:01 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Jumat, 18 Oktober 2024 | 20:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Jumat, 18 Oktober 2024 | 09:14 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Kamis, 17 Oktober 2024 | 12:39 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja