RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak pertambahan nilai (PPN) atas penjualan sepeda motor baru yang belum dibayarkan pajaknya. Dalam perkara ini, wajib pajak memiliki usaha pada bidang penjualan sepeda motor baru dan bekas.
Otoritas pajak menyatakan wajib pajak telah melakukan penjualan sepeda motor baru kepada konsumen melalui sistem penjualan putus. Namun demikian, atas transaksi penjualan tersebut belum dikenakan PPN sehingga dilakukan koreksi oleh otoritas pajak.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan pihaknya tidak pernah melakukan penjualan sepeda motor baru kepada pihak konsumen. Wajib pajak hanyalah sebagai pihak perantara antara dealer dan pihak konsumen. Dengan demikian, tidak terdapat transaksi yang harus dipungut PPN dan koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat benarkan.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat wajib pajak tidak melakukan pembelian sepeda motor baru dari pihak dealer dan tidak melakukan penjualan langsung kepada konsumen.
Penjualan sepeda motor dilakukan secara langsung oleh pihak dealer kepada konsumen. Hal ini terbukti dari diterbitkannya faktur kepada konsumen dan bukan kepada wajib pajak. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-60694/PP/M.VIA/16/2015 tanggal 31 Maret 2015, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 15 Juli 2015.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) atas penjualan sepeda motor baru senilai Rp1.490.390.933 yang tidak dapat dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pemohon PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Termohon PK merupakan pihak perantara atas transaksi penjualan sepeda motor baru dan sepeda motor bekas. Penjualan sepeda motor tersebut dilakukan dengan pembayaran secara tunai (cash) dan kredit melalui lembaga pembiayaan atau leasing.
Pada 2010, berdasarkan data yang tersedia, Pemohon PK mendeteksi adanya pembelian sepeda motor baru oleh Termohon PK yang dibeli dari beberapa dealer, yaitu CV A, CV B, dan PT C. Namun demikian, atas pembelian sepeda motor baru tersebut belum dipungut PPN. Selain itu, Termohon PK juga tidak melaporkan yang terutang.
Dalam persidangan, Pemohon PK telah menyerahkan bukti-bukti berupa laporan hasil pemeriksaan, kertas kerja pemeriksaan, pemberitahuan daftar hasil penelitian keberatan, surat perjanjian kerja sama No. 109/Ayk/SkA/l/2007, surat perincian data pembelian motor, cek pembayaran, surat jawaban konfirmasi, dan surat No. 296/Ayk/Sk/I/2015.
Apabila telusuri lebih lanjut, berdasarkan pada surat jawaban konfirmasi mengenai perincian data pembelian motor yang ditandatangani oleh CV A, diperoleh informasi Termohon PK juga telah membeli motor baru darinya.
Adapun pembelian motor yang dilakukan Termohon PK dari CV A adalah pembelian putus. Dalam hal ini, pemesanan dilakukan melalui telepon, pengiriman barang dijemput sendiri oleh Termohon PK, dan pembayaran dilakukan melalui cek atau bilyet giro.
Kemudian, mengacu pada surat perincian data pembelian motor dari CV B, diketahui Termohon PK telah membeli motor baru. Transaksi penjualan antara Termohon PK dengan CV B tersebut dilakukan dengan sistem jual beli putus.
Berdasarkan pada data-data dan fakta-fakta di atas, Termohon PK telah terbukti melakukan pembelian motor baru dari CV A, CV B, dan PT C. Adapun pembelian motor tersebut dilaksanakan melalui sistem jual beli putus dan seharusnya terutang PPN. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK sudah benar dan selayaknya dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju atas koreksi yang dilakukan oleh Pemohon PK. Dalam transaksi penjualan sepeda motor, Termohon PK hanya menjadi pihak perantara antara dealer dengan konsumen. Menurut Termohon PK, sepeda motor baru yang diserahkannya kepada konsumen adalah milik dealer dan bukan milik Termohon.
Kemudian, apabila terdapat sepeda motor yang terjual, Termohon PK akan memperoleh komisi dari pihak dealer. Dengan kata lain tidak terdapat penyerahan PPN yang terutang dan harus dilaporkan oleh Termohon PK. Oleh karenanya, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak benar dan seharusnya dibatalkan.
Mahkamah Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat dan benar. Terdapat 3 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan-alasan permohonan PK dalam perkara a quo terkait dengan koreksi positif DPP atas penjualan sepeda motor baru senilai Rp1.490.390.933 tidak dapat dibenarkan.
Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara ini, Termohon PK hanya sebagai perantara transaksi penjualan sepeda motor baru dari dealer kepada konsumen. Artinya, Termohon PK tidak melakukan pembelian sepeda motor baru kepada dealer dan tidak melakukan penjualan langsung kepada konsumen. Sebagai pihak perantara, Termohon PK hanya memperoleh komisi dari dealer atas sepeda motor yang terjual. Adapun komisi penjualan bukan merupakan objek PPN.
Ketiga, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dipertahankan. Selain itu, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan Pemohon PK dinilai tidak memiliki landasan yang jelas sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dianggap sebagai pihak yang kalah dan harus membayar biaya perkara.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.