RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPN atas Jasa Keagenan Pelayaran Internasional

Hamida Amri Safarina | Senin, 04 Desember 2023 | 16:59 WIB
Sengketa PPN atas Jasa Keagenan Pelayaran Internasional

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai jasa keagenan pelayanan internasional yang tidak dikenakan PPN. Dalam sengketa ini, wajib pajak memberikan jasa keagenan pelayanan internasional untuk konsumen yang berdomisili di luar negeri.

Otoritas pajak menyatakan atas penyerahan jasa keagenan tersebut dikenakan PPN. Sebaliknya, wajib pajak menilai jasa keagenan yang diberikannya tidak dikenakan PPN karena jasa tersebut dikonsumsi di luar wilayah Indonesia. Penerapan tersebut dianggap sesuai dengan destination principle.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.

Kronologi

WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat penyerahan jasa keagenan yang dilakukan wajib pajak merupakan objek pajak dan terutang PPN.

Pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis-Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PP 144/2000).

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Selain itu, jasa keagenan juga tidak termasuk sebagai jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 s.t.d.d Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN). Dengan begitu, permohonan banding yang diajukan wajib pajak tidak dapat dibenarkan.

Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put-79106/PP/M.XIB/16/2016 tanggal 14 Desember 2016, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 20 Maret 2017.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif atas DPP PPN masa pajak Mei 2006 senilai Rp1.016.896.307 yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Pendapat Pihak yang Bersengketa

PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan Termohon PK dan juga pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam menjalankan bisnisnya, Pemohon PK melakukan 2 jenis transaksi bisnis.

Pertama, Pemohon PK melakukan penyerahan jasa keagenan bagi kapal asing dengan jalur pelayaran internasional. Dalam hal ini, Pemohon PK bukan sebagai pihak yang memiliki kapal. Pemohon PK hanya bertindak sebagai pihak yang membantu untuk menangani segala sesuatu untuk kepentingan kapal dan muatannya.

Adapun pihak yang menerima jasa keagenan tersebut berdomisili di luar wilayah Indonesia. Dengan kata lain, jasa keagenan yang diberikan Pemohon PK diterima atau dikonsumsi di luar wilayah Indonesia. Pemohon PK menyatakan jasa yang dikonsumsi di luar negeri tidak dikenakan PPN di Indonesia.

Baca Juga:
Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Penerapan tersebut sesuai dengan prinsip dasar pengenaan PPN yang berdasarkan tempat tujuan barang atau jasa dikonsumsi yang disebut prinsip destinasi (destination principle). Dengan kata lain. pengenaan PPN hanya dilakukan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di Indonesia.

Selain itu, jasa keagenan yang berikan Pemohon PK seharusnya digolongkan sebagai jasa angkutan umum kapal laut. Menurut Pemohon PK, jenis jasa angkutan umum kapal laut tergolong sebagai salah satu jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (3) huruf I UU PPN.

Kedua, Pemohon PK selaku pihak yang memiliki kapal tanker melakukan sewa kepada PT A yang berdomisili di dalam negeri. Kapal tanker tersebut digunakan di wilayah Indonesia dengan jalur pelayaran domestik.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Atas persewaan kapal tersebut sudah dikenakan PPN dan dilaporkan pelaporan dalam surat pemberitahuan (SPT) PPN Pemohon PK. Dengan begitu, terkait dengan penyerahan jasa tersebut tidak terdapat sengketa pajak yang timbul.

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat diketahui pendapat dan koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Dengan begitu, koreksi yang dilakukan Termohon PK tidak tepat dan seharusnya dibatalkan.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Menurutnya, jasa keagenan yang diberikan Pemohon PK kepada konsumennya seharusnya dikenakan PPN. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Termohon PK sudah benar dan dapat dipertahankan.

Baca Juga:
Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Pertimbangan Mahkamah Agung

MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Sebab, putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding tidak tepat dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPN masa pajak Mei 2006 senilai Rp1.016.896.307 dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan oleh para pihak, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, Mahkamah Agung menyatakan penyerahan jasa keagenan tidak terutang PPN. Oleh karenanya, Majelis Hakim Agung membatalkan Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-79106/PP/M.XIB/16/2016.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, alasan-alasan permohonan PK cukup berdasar dan patut dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum membayar biaya perkara.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak