RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai keabsahan penggunaan tanda tangan stempel dalam surat banding dan objek pajak penghasilan (PPh) Pasal 15 yang tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT).
Pemohon PK merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dalam negeri yang melakukan kegiatan pengangkutan barang dan/atau orang.
Otoritas pajak menyatakan terdapat objek PPh Pasal 15 yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak dalam SPT. Adapun objek PPh Pasal 15 yang dimaksud ialah biaya demurrage, biaya freight, dan biaya sewa speedboat.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan telah melapor PPh Pasal 15 dalam SPT dengan benar. Menurut wajib pajak, tanda tangan stempel memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa. Dengan demikian, penggunaan tanda tangan stempel pada surat banding dapat dibenarkan.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan tidak dapat menerima permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan mahkamah Agung atau di sini.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat permohonan banding tidak dapat diterima karena tidak memenuhi ketentuan formal terkait tanda tangan dalam surat banding.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak membenarkan penggunaan tanda tangan stempel dalam surat banding. Berdasarkan Pasal 118 ayat (1) Herziene Indonesisch Reglementatau (HIR) diatur tanda tangan merupakan tanda tangan yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh penandatangan.
Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan tidak dapat menerima permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 65492/PP/M. XVIIIB/27/2015 tertanggal 5 November 2015, wajib pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 19 Februari 2016.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah putusan Pengadilan Pajak atas permohonan banding wajib pajak yang diputuskan tidak dapat diterima.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan tidak setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Pemohon PK merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dalam negeri yang melakukan kegiatan pengangkutan barang dan/atau orang. Pemohon berpendapat permohonan banding yang diajukannya telah memenuhi syarat formal.
Pemohon PK berdalil pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dengan berdasarkan Pasal 118 ayat (1) HIR tidak dapat dibenarkan. Menurutnya, penyelesaian sengketa pajak memiliki ketentuannya sendiri dan bersifat khusus. Dengan demikian, pemberlakuan Pasal 118 ayat (1) HIR dalam proses perkara di Pengadilan Pajak oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak merupakan kesalahan penerapan hukum.
Selanjutnya, Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU 14/2002) tidak mengatur bagaimana surat banding harus ditandatangani. Pasal tersebut hanya memberikan tiga syarat pengajuan permohonan banding.
Ketiga syarat itu adalah permohonan banding harus menggunakan Bahasa Indonesia, memuat alasan-alasan yang jelas, dan mencantumkan tanggal diterima surat keputusan yang diajukan banding. Dalam UU 14/2002 juga tidak ada ketentuan yang melarang penggunaan tanda tangan stempel.
Sebagai bukti pendukung, Pemohon PK juga mengajukan putusan hakim Pengadilan Pajak terdahulu, yaitu Putusan Nomor 62909/PP/M.IIIB/99/2015, untuk mendukung argumentasinya. Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengabulkan gugatan wajib pajak atas penggunaan tanda tangan stempel pada surat keberatan.
Sebagai tambahan, Termohon PK juga tidak mempermasalahkan terkait penggunaan tanda tangan stempel. Artinya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus sengketa melebihi hal yang dimohonkan (ultra petita).
Menurut Pemohon PK, tanda tangan stempel memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa. Tanda tangan stempel telah diakui dan sudah lazim digunakan untuk dokumen-dokumen perpajakan.
Selain itu, Pemohon PK juga menyatakan tidak setuju atas koreksi kurang bayar yang dilakukan Termohon PK. Koreksi kurang bayar PPh Pasal 15 yang dilakukan Termohon tidak dapat dibenarkan.
Atas transaksi-transaksi yang merupakan objek PPh Pasal 15 sudah dipotong dan dilaporkan pada SPT Masa tahun 2011 dan sudah selesai diperiksa oleh Termohon PK. Dikeluarkannya SKPKB oleh Termohon PK menyebabkan dua kali pembayaran pajak atas objek yang sama sehingga sudah selayaknya koreksi estimasi biaya Desember 2010 dibatalkan.
Sebaliknya, Termohon PK menyatakan berdasarkan penelitian, terdapat objek PPh Pasal 15 yang tidak dilaporkan oleh Pemohon PK dalam SPT. Adapun objek PPh Pasal 15 yang dimaksud ialah biaya demurrage, biaya freight, dan biaya sewa speedboat. Oleh karena itu, Termohon PK melakukan koreksi atas PPh Pasal 15.
Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan tidak dapat menerima permohonan banding telah terbukti bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Terdapat tiga pendapat Mahkamah Agung sebagai berikut. Pertama, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yan terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara a quo, terbukti penggunaan tanda tangan stempel telah diakui sah oleh pihak Pemohon PK dan Termohon PK. Sebab, tidak ada pernyataan keberatan dari kedua belah pihak atas penggunaan tanda tangan stempel tersebut. Dengan demikian, Majelis Hakim Agung berpendapat permohonan banding yang diajukan Pemohon PK telah memenuhi syarat prosedural dan substansial.
Ketiga, koreksi atas biaya demurrage dan freight tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan berdasar. Sementara itu, terkait biaya sewa speedboat bukan merupakan objek PPh Pasal 15. Koreksi kurang bayar PPh Pasal 15 yang dilakukan Termohon PK tidak dapat dibenarkan.
Mahkamah Agung menyatakan Putusan Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Berdasarkan pertimbangan di atas, alasan-alasan permohonan Pemohon PK cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan. Dengan demikian, Termohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar perkara.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.