USAI sudah program amnesti pajak yang telah bergulir selama 9 bulan, yang dimulai 1 Juli 2016 dan berakhir 31 Maret 2017. Kerja keras semua pihak yang terlibat dalam program ini sejak inisiasi, pengawalan isu, penyusunan undang-undang dan ketentuan di bawahnya, penyiapan teknologi informasi dan administrasi, sosialisasi, mempertahankan dalam Mahkamah Konstitusi, hingga pelayanan kepada wajib pajak patut diberikan apresiasi yang tinggi.
Kerja keras tersebut membuahkan hasil bahwa program amnesti pajak, terlepas dari beberapa kekurangannya, menjadi program amnesti pajak tersukses di dunia. Bahkan dalam suatu konferensi tentang International Wealth Transfer di London pada tanggal 6-7 Maret 2017, salah seorang pembicara dari Singapura menyatakan bahwa amnesti pajak sebagai the second best policy, program amnesti pajak Indonesia dapat dijadikan model dunia.
Siapa yang mengira jumlah harta deklarasi sampai sebesar Rp 4.865 triliun (berdasarkan Statistik Amnesti Pajak DJP pukul 8.00 tanggal 1 April 2017). Harta deklarasi sebesar itu, apabila kita kaitkan dengan produk domestik bruto (PDB) tahun 2016, jumlahnya sebesar 39% dari PDB. Uang Tebusan mencapai Rp 114 triliun, nilainya sebesar 0,91% dari PDB dan merupakan yang tertinggi di dunia. Bandingkan dengan uang tebusan yang dicapai dalam kelompok 3 besar, Turki di peringkat kedua dengan jumlah 0,74% dari PDB, dan Chili diperingkat ketiga dengan jumlah 0,62% dari PDB.
Terkait dengan dana repatriasi yang menjadi tujuan utama amnesti pajak ini yang hanya meraih Rp 147 triliun, angka tersebut termasuk juga berhasil jika dibandingkan dengan capaian negara lain yang diluncurkan dengan nama offshore voluntary disclosure program (OVDP).
Satu-satunya capaian yang tidak menggembirakan adalah jumlah partisipan yang hanya sebesar 965.983 wajib pajak dari jumlah wajib pajak yang terdaftar sebesar 32 juta. Artinya, yang ikut hanya sejumlah 3% dari wajib pajak terdaftar. Apalagi kalau kita kaitkan dengan rasio kepatuhan penyampaian SPT terhadap wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT di tahun 2016 yang hanya sebesar 63%.
Memang kalau kita kaitkan dengan target yang dicanangkan, misalnya uang tebusan yang ditargetkan sebesar Rp 165 triliun dan repatriasi sebesar Rp 1000 triliun, apa yang dicapai meleset dari target. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan negara lain seperti diuraikan di atas, capaian amnesti pajak secara keseluruhan terbilang sukses. Jadi, kritiknya bukan terhadap pencapaian target tetapi terhadap penentuan target yang tidak realistis.
Pasca amnesti pajak apa yang harus dilakukan? Inilah yang penting untuk segera ditindaklanjuti.
Amnesti pajak hanya langkah awal untuk reformasi pajak secara keseluruhan. Untuk itu, reformasi pajak dalam segala bidang perlu segera dilakukan. Kementerian Keuangan telah melakukannya dengan bergerak cepat membentuk tim reformasi pajak. Tim ini dibentuk untuk melakukan reformasi pajak dalam bidang (i) organisasi, (ii) sumber daya manusia, (iii) teknologi informasi dan basis data, (iv) proses bisnis, serta (v) peraturan perundang-undangan. Tim reformasi ini bekerja untuk jangka panjang selama 5 tahun.
Oleh karena alasan di atas, saat ini paling mendesak adalah gebrakan jangka pendek setelah amnesti pajak. Penegakan hukum yang tegas harus segera dilakukan terhadap wajib pajak tidak patuh yang tidak memanfaatkan program amnesti pajak. Tujuannya, untuk memberikan sinyal kepada wajib pajak bahwa Ditjen Pajak sekarang telah mempunyai data yang akurat dan memadai, yang didapat dari amnesti pajak, untuk melakukan penegakan hukum, pengawasan, dan penggalian potensi pajak.
Selain itu, untuk menjaga momentum amnesti pajak dalam konteks melengkapi data dan informasi yang telah didapat, pemerintah sebenarnya bisa memasukan ketentuan akses informasi perbankan secara otomatis untuk penggalian potensi pajak dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang Automatic Exchange of Information (AEoI) yang saat ini sudah masuk dalam tahap finalisasi.
Jadi, seharusnya Perppu tersebut tidak hanya untuk tujuan pertukaran informasi dengan negara mitra (AEoI). Tetapi, juga untuk tujuan penggalian potensi pajak. Karena, dalam self-assessment system yang kita anut dalam sistem pajak Indonesia, kata kuncinya adalah ketersediaan data yang dimiliki oleh Ditjen Pajak untuk membangun kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban pajaknya dengan benar.
Terakhir, keharusan wajib pajak untuk tetap patuh pasca amnesti pajak, tentunya harus diimbangi dengan pelayanan yang prima dan pemenuhan segala hak wajib pajak sesuai ketentuan yang ada. Dengan demikian, akan terbangun sikap saling percaya, saling terbuka, dan saling menghargai antara Ditjen Pajak dan wajib pajak, sikap inilah yang menjadi roh reformasi pajak di banyak negara yang dikenal dengan nama cooperative compliance.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.