Gedung Ditjen Pajak.
JAKARTA, DDTCNews – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali melihat adanya permasalahan berulang dalam tata kelola piutang perpajakan di Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea Cukai (DJBC). Topik ini menjadi bahasan media nasional hari ini, Senin (28/12/2020).
Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I/2020 BPK menyebutkan ada 3 rekomendasi yang ditujukan kepada Dirjen Pajak dalam memperbaiki tata kelola piutang pajak. Ketiga rekomendasi itu berkaitan dengan pembaruan sistem informasi di tubuh otoritas.
"Dirjen Pajak agar memutakhirkan sistem informasi dalam memastikan validitas data piutang pajak dan penyisihan atas piutang pajak, serta memastikan piutang PBB yang terintegrasi dengan sistem informasi DJP," tulis IHPS I/2020 BPK.
Rekomendasi BPK itu juga bersumber dari hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2019 yang menemukan kelemahan sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan di DJP dan DJBC. Akibat kelemahan ini timbul implikasi bagi keuangan negara.
Dampak kelemahan tersebut antara lain hak penagihan piutang perpajakan berpotensi tidak berlaku senilai Rp24,33 miliar, saldo piutang perpajakan kurang catat senilai Rp333,36 miliar dan lebih catat sejumlah Rp62,69 miliar.
Selanjutnya, data piutang perpajakan tidak diyakini kebenarannya sebesar Rp238,18 miliar. Berikut ulasan berita pajak lainnya hari ini, 28 Desember 2020.
Proyeksi Kinerja Penerimaan Pajak
Pemerintah meyakini ekonomi Indonesia di tahun depan beranjak pulih, setelah kontraksi dalam akibat dampak pandemi virus corona. Proyeksi pembalikan ekonomi itu menjadi penentu penerimaan pajak 2021, seiring dengan peningkatan aktivitas ekonomi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan pajak pada tahun depan memang dirancang belum begitu tinggi karena ekonomi dalam negeri masih dalam proses pembalikan dari tahun ini.
“Saat kita memfokuskan pemulihan ekonomi, APBN juga melakukan reformasi, termasuk dari perpajakan. Penerimaan pajak ditingkatkan tanpa menyebabkan ekonomi menjadi lemah kembali,” kata Menkeu.
Untuk itu, peran pajak sebagai regulerend masih akan digalakkan sampai dengan tahun depan. Dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021, terdapat anggaran insentif perpajakan sebesar Rp 20,4 triliun. (Kontan)
Restitusi Dipercepat
Kementerian Keuangan mencatat hingga akhir November 2020 realisasi restitusi pajak mencapai Rp166,6 triliun. Tingginya pengembalian pajak ini disebabkan oleh insentif perpajakan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020.
Direktur Potensi Penerimaan dan Kepatuhan Pajak Ditjen Pajak Ihsan Priyawibawa menyampaikan nilai restitusi tersebut tumbuh 19,24% menjadi Rp166,6 triliun dari periode yang sama tahun lalu senilai Rp134,55 triliun.
Dia menjabarkan pertumbuhan restitusi pajak terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, restitusi dipercepat naik 34,29% dari periode yang sama tahun lalu. Kedua, restitusi normal naik 16,8%. Ketiga, restitusi karena upaya hukum tumbuh 7,87%. (Kontan)
Perlakuan Pajak terhadap PPMSE
Berlakunya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50/2020 sejak November 2020 tidak serta merta berdampak terhadap perlakuan pajak atas penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) luar negeri.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan sepanjang perwakilan PPMSE asing menjalankan fungsi sebagai representative office atau kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing (KP3A) dan tidak menjalankan aktivitas bisnis, maka belum ada implikasi pajak dari kehadiran KP3A tersebut.
"Menurut kami Permendag No. 50/2020 itu dimensi utamanya adalah perlindungan konsumen, dia cuma menjaga agar konsumen punya keyakinan dalam membeli," katanya. (DDTCNews)
Konsolidasi Fiskal Penuh Tantangan
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan tantangan pemerintah ke depan adalah bagaimana mengembalikan rasio defisit anggaran, termasuk rasio utang ke level sebelum pandemi Covid-19.
“Tantangan yang tak mudah karena konsolidasi fiskal memerlukan waktu yang lebih lama ketimbang konsolidasi ekonomi,” ujarnya.
Meski ekonomi pulih, sambung Yusuf, hal ini tidak langsung diikuti oleh perbaikan negara secara signifikan. Pasalnya, dalam proses pemulihan ekonomi, pemerintah tidak boleh menetapkan target penerimaan yang agresif. (Bisnis Indonesia)
Pajak Reksa Dana
Head of Invesment Avrist Asset Management Farash Farich mengatakan reksa dana berbasis fixed income bakal tetap menarik walaupun pajak obligasi untuk reksa dana dinaikkan menjadi 10% dari 5% pada tahun depan.
“Untuk potensi return dan imbal hasil, reksa dana pendapatan tetap masih sangat baik untuk menjadi pilihan investasi jangka menengah,” katanya.
Adapun reksa dana pendapatan tetap yang memiliki aset dasar surat utang ini bisa diakumulasikan oleh investor yang memiliki horizon investasi jangka pendek dan panjang dengan menyesuaikan pada strategi masing-masing reksa dana. (Bisnis Indonesia)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Persoalan piutang pajak ini mengindikasikan bahwa sistem perpajakan Indonesia masih belum memenuhi prinsip appropriate government revenues. Diperlukan perbaikan basis data dari DJP untuk mengamankan penerimaan negara yang berpotensi hilang tersebut.