Ilustrasi (kpu.go.id)
PESTA demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dilangsungkan serentak di berbagai wilayah di Indonesia pekan lalu menyisakan satu pertanyaan besar: Bagaimana kepala daerah yang terpilih kelak mendanai rencana pembangunan di daerahnya?
Dalam janji kampanye, calon kepala daerah cenderung 'menjual' apa yang hendak mereka lakukan. Mulai dari memperbaiki pelayanan, penyediaan fasilitas publik, dan seterusnya. Menariknya, para calon tersebut agaknya berasumsi bahwa dana untuk merealisasikan janjinya tersedia.
Faktanya, jika kita melihat beberapa indikator, agaknya kita bisa menyimpulkan bahwa pekerjaan rumah bagi kepala daerah adalah meningkatkan kapasitas fiskal daerahnya. Di sini paling tidak ada tiga indikator utama.
Pertama, kontribusi pajak daerah dan retribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Di tingkat provinsi, kontribusinya 86,02%, di tingkat kabupaten 58,22%. Padahal, PAD umumnya menyumbang 49,59% dari total pendapatan provinsi dan 11,99% dari total pendapatan kabupaten.
Kedua, kemampuan memobilisasi penerimaan daerah berupa pajak dan retribusi belum optimal. Tax ratio di tingkat provinsi pada 2016 rata-rata 1,35% dengan minimal 0,50% dan maksimal3,74%. Di tingkat kabupaten/ kota hanya rata-rata 0,50% dengan minimal 0,00% dan maksimal 6,69%.
Ketiga, dewasa ini di era reformasi dan pilkada terdapat peningkatan permintaan atas kualitas dan kuantitas barang/ jasa publik yang akhirnya mendorong peningkatan belanja APBD, tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan daerah.
Hal ini lalu berdampak pada pertumbuhan dana transfer ke daerah dan juga dana desa dari pusat. Sebagai ilustrasi, transfer daerah pada 2013 hanya 31,1% dari belanja negara, pada 2017 proporsinya melonjak 40%. Sebagai catatan, pertumbuhan belanja daerah mencapai 11% dari 2013 ke 2017.
Lalu apa yang menjadi masalah? Ada pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya kapasitas fiskal berangkat dari terbatasnya kewenangan pemda dalam memungut pajak (revenue assignment), seperti telah disepakati dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).
Melalui beleid itu, pemerintah provinsi hanya berwenang memungut 5 jenis pajak: Pajak kendaraan bermotor, pajak rokok, dan seterusnya. Sedangkan di tingkat kabupaten/ kota hanya 11 jenis pajak, mulai dari PBB-P2, pajak hotel, pajak restoran, pajak sarang burung walet, dan seterusnya.
Hal ini akhirnya seringkali menjurus pada ide perlunya memperluas revenue assignment melalui revisi UU PDRD. Padahal, hal tersebut belum tentu benar. Seringkali, persoalannya lebih pada perbaikan administrasi pemungutan pajak di daerah. Inilah yang sesungguhnya PR terbesar para kepala daerah.
Permasalahannya mencakup antara lain penguatan kelembagaan otoritas pemungut pajak daerah, penegakan hukum sekaligus penjaminan hak-hak wajib pajak daerah, hingga deteksi potensi penerimaan. Tanpa perbaikan administrasi, penerimaan pajak daerah tentu sulit terpenuhi.
Efek sampingnya, daerah bisa saja mengesampingkan fakta bahwa instrumen pajak dan retribusi sesungguhnya bisa menjadi alat penarik investasi, dan akhirnya cenderung memperluas definisi objek pajak disertai dengan penetapan tarif yang optimal sesuai dengan batasan nasional.
Kalau ini yang terjadi, lagi-lagi ketergantungan daerah dengan pusat akibat kapasitas fiskal yang meningkat akan terus terjadi. Jangan sampai pilkada serentak yang sudah berjalan dengan lancar dan damai berakhir pada liang ini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.