David Susanto
,PEMANASAN global menjadi perhatian dunia saat ini. Pemanfaatan sumber daya alam, ekstraksi alam, serta produksi emisi gas rumah kaca secara berlebihan telah membutuhkan penanganan yang serius.
Jika tidak ada penanganan, permasalahan itu akan mengancam pembangunan berkelanjutan. Dampaknya terjadi dalam bentuk gangguan atas keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial, dan pelestarian lingkungan.
Indonesia sendiri telah berada di posisi kesebelas sebagai negara penyumbang emisi karbon dioksida terbesar di dunia. Di sisi lain, Indonesia juga telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060.
Untuk mencapai net zero emission, Indonesia menerapkan carbon pricing scheme berupa pajak karbon dan perdagangan karbon. Metode yang digunakan adalah cap and tax. Metode ini dinilai lebih efisien untuk menekan emisi.
Metode cap and tax pada gilirannya memaksa perusahaan untuk menekan emisi tanpa memberi celah eksternalitas negatif akibat sistem cap and trade. Efisiensi metode ini juga membuat penerimaan dari pajak karbon lebih efektif dan mendorong peralihan ke sektor ramah lingkungan.
Namun, penerapannya sendiri masih kurang efektif karena tarif pajak karbon dinilai rendah. Belum ditemukannya titik terang atas tarif dan kepastian waktu penerapan pajak karbon menjadi perhatian bagi sejumlah pihak.
Penundaan yang terus berlangsung membuat sejumlah pihak bertanya-tanya mengenai komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060. Situasi ini menimbulkan urgensi terhadap penerapan pajak karbon itu sendiri.
Calon-calon presiden Indonesia harus mampu menyuarakan dan menyelesaikan masalah ini dengan sejumlah solusi pada program kerja. Lingkungan yang makin tercemar dan bumi yang makin panas membawa dampak yang sangat buruk. Salah satunya ialah kebakaran hutan.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara tropis terbesar. Oleh karena itu, kebakaran hutan harus diminimalisasi. Kebijakan pajak lingkungan dapat menjawab permasalahan ini. Namun, belum ada titik terang sejauh ini.
MELIHAT potensi-potensi yang ada, Indonesia juga mampu menjual kredit karbon dan menciptakan konservasi hutan atau merestorasi lahan gambut. Indonesia juga dapat secara implisit memaksa perusahaan untuk bergabung dalam program sukarela, yaitu REDD+ scheme, untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan dan menumbuhkan tax ratio.
Indonesia secara langsung harus menganut konsep ‘the polluters pay’. Reducing emission from deforestation and degradation (REDD+) scheme dapat menjawab permasalahan tersebut.
Pengelolaan hutan tropis yang luas oleh negara ataupun pembukaan peluang bagi swasta lokal untuk mengambil alih—seperti Katingan Mentaya Project— menjadi hal yang bagus karena turut menjaga bumi kita.
Terdapat beberapa perusahaan luar yang telah bergabung ke Katingan Mentaya Project di Kalimantan ini. Salah satunya perusahaan minyak dan gas asal Belanda yang memiliki kampanye, “Setiap 1 sen dari harga bensin yang pelanggannya beli di Eropa akan disumbangkan untuk Katingan Project”. Secara tidak langsung, hal ini merupakan bisnis jual-beli karbon dengan sistem ‘sukarela’.
Konsep REDD+ scheme sendiri sama seperti perdagangan karbon, tetapi sifatnya ‘sukarela’. Potensi-potensi seperti ini harus mampu digali lebih dalam oleh para calon-calon presiden Indonesia nantinya dan mampu disuarakan.
Pajak yang telah sekian lama berfungsi sebagai budgetary pun tampaknya harus beralih ke fungsi regulatory untuk kasus pajak lingkungan. Hal ini guna menghindari permainan politik dan penolakan perusahaan. Terlebih, Indonesia sendiri telah menetapkan komitmen yang harus dipenuhi dengan segala jenis kebijakan yang akan diterapkan.
Tentunya terdapat beberapa alternatif solusi sehingga pendapatan pajak karbon bisa digunakan untuk membiayai perusahaan yang akan beralih ke sektor ramah lingkungan atau energi terbarukan.
Insentif pajak yang dikelola dengan baik juga meningkatkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan di sini juga mencakup masyarakat luas yang dapat hidup lebih baik, menikmati kualitas udara yang lebih baik, dan hidup berkelanjutan.
Peran insentif pajak sangat penting karena tidak hanya untuk sektor terbarukan, tetapi juga terkait dengan masyarakat yang terdampak dari kenaikan sesaat harga barang. Insentif pajak yang baik akan mampu menekan inflasi.
Calon-calon presiden nanti juga harus menyuarakan isu-isu lingkungan seperti ini. Selain meningkatkan reputasi, calon tersebut juga akan dinilai peduli terhadap isu-isu global yang terjadi sekarang. Mereka juga dapat dianggap mampu mengkritisi dan memberikan solusi.
Roadmap yang telah dibuat oleh presiden terdahulu juga harus mampu dilanjutkan, bahkan lebih baik. Oleh karena itu, isu lingkungan menjadi sangat penting bagi keberlanjutan pembangunan sumber daya di Indonesia. Isu lingkungan juga menarik untuk disuarakan dalam debat program kerja presiden mendatang.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.