LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Perlunya Indonesia Dorong Pembentukan Carbon Pricing Framework Asean

Redaksi DDTCNews | Jumat, 03 November 2023 | 11:02 WIB
Perlunya Indonesia Dorong Pembentukan Carbon Pricing Framework Asean

Muhammad Harmaen Pasha,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara

PERUBAHAN iklim akibat emisi karbon telah menjadi masalah yang mendapat perhatian intens dari dunia internasional.

Polusi dan emisi tidak memerlukan visa ataupun paspor untuk bermigrasi dari satu negara ke negara lainnya. Alhasil, setiap negara dapat merasakan dampak negatif emisi tersebut secara merata. Meskipun demikian, masih terdapat kekosongan regulasi pada tingkat regional Asean.

Menurut João Aleluia (2019), pendekatan negara-negara Asean dalam mengupayakan carbon pricing masih hanya berfokus pada perhatian domestik. Negara-negara Asean kurang, bahkan tidak mempertimbangkan sinergi dan koordinasi regional.

Padahal, dibutuhkan kesadaran untuk bersinergi dari para pembuat kebijakan di Asean terkait dengan pembangunan rezim carbon pricing. Pasalnya, aksi unilateral justru akan menimbulkan kesenjangan biaya ekonomi antara negara yang menerapkan dan negara yang tidak menerapkan carbon pricing.

Adanya kesenjangan itu disebut sebagai fenomena carbon leakage. Kondisi ini muncul ketika emisi gas rumah kaca berpindah dari negara yang memiliki biaya karbon yang tinggi ke negara dengan biaya karbon yang lebih rendah.

Padahal, Indonesia serta negara-negara Asean yang lain memiliki kesamaan kepentingan ekonomi strategis, yaitu menarik investor asing. Pemilihan lokasi investasi akan sangat dipengaruhi oleh biaya regulasi, termasuk menyangkut carbon pricing.

Sebagai homo economicus, investor akan memilih lokasi investasi dengan profitabilitas tertinggi. Namun, kegiatan investasi yang ugal-ugalan tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan akan membawa dampak buruk bagi masa depan ekonomi.

Negara-negara di Asean haruslah sadar akan hal tersebut. Asean sebenarnya memiliki bargaining power yang cukup tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu konsensus internasional untuk menjaga level playing field antarnegara sehingga daya saing tetap baik.

Dalam upaya pembentukan konsensus tersebut, terdapat dua mekanisme yang dapat diimplementasikan untuk kerangka kerja regional di Asean. Keduanya adalah pajak karbon (carbon tax) dan pasar karbon (emission trading system).

Carbon tax merupakan skema carbon pricing yang mengadopsi Pigouvian melalui pengenaan pajak terhadap aktivitas yang menghasilkan eksternalitas negatif (Baumol, 1972). Yurisdiksi terkait, baik regional maupun unilateral, dapat memberikan kepastian nilai ekonomis dalam sistem carbon tax.

Kepastian nilai ekonomis itu berupa tarif pajak atas emisi CO2e per ton sejalan dengan tingkat penurunan emisi yang diinginkan. Tujuan pemberian tarif tersebut adalah untuk mengurangi aktivitas penghasil emisi CO2e.

Di sisi lain, emission trading system bekerja dengan cara memberikan batas (cap) emisi karbon yang boleh dikeluarkan oleh suatu entitas. Pemerintah dapat menerbitkan izin (permit) tersebut serta membagikan atau menjual kepada industri.

Perusahaan mungkin akan mengeluarkan emisi karbon lebih rendah daripada izin yang dimiliki. Oleh karena itu, margin permit tersebut dapat diperjualbelikan dalam bursa emisi. Entitas dengan emisi karbon lebih besar daripada permit yang dimiliki harus membeli permit pada bursa pasar sekunder atau primer.

Emission trading system akan menggunakan kekuatan alami pasar untuk menaruh harga pada emisi gas rumah kaca. Kekuatan utama emission trading system terletak pada insentif dan disinsentif yang berjalan secara simultan.

Perusahaan akan berlomba-lomba menjadi yang pertama menurunkan emisi gas rumah kacanya sehingga mendapatkan imbalan lewat surplus permit yang dapat diperdagangkan.

Mengingat nilai emisi karbon Indonesia tertinggi di regional Asean maka mekanisme emission trading system tak elaknya dapat menjadi bumerang bagi Indonesia itu sendiri. Hal ini dikarenakan perusahaan-perusahaan dalam negeri akan dipaksa membeli izin emisi dari negara-negara lain.

Kerangka Kerja Berbasis Pajak Karbon

MELIHAT situasi tersebut, Indonesia perlu mendorong kerangka kerja berbasis carbon tax di regional Asean. Mempertimbangkan kesiapan infrastruktur regulasi carbon pricing di Asean, carbon tax menjadi pilihan yang dinilai paling feasible untuk diaplikasikan di regional.

Implementasi carbon tax juga sudah mulai diterapkan di Singapura mulai 1 Januari 2019 dengan harga $5 per ton. National Climate Change Secretariat Singapore (2022) mengeklaim kebijakan tersebut telah mencakup 80% dari total sektor yang menghasilkan gas rumah kaca.

Dengan acuan tersebut, Indonesia diharapkan dapat memimpin regional Asean dalam membentuk carbon pricing framework berbasis carbon tax secara holistik. Hal ini diharapkan dapat meminimalisasi kemungkinan carbon leakage dan mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi.

Kontestasi pemilu pada 2024 dapat menjadi ajang yang menarik untuk mengadu ide mengenai paradigma ini. Tujuannya untuk menstimulasi pemerintahan yang mampu menanggulangi permasalahan iklim tanpa mengesampingkan kepentingan ekonomi Indonesia.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN