KEMENTERIAN Keuangan (Kemenkeu) bersama Panja A Badan Anggaran (Banggar) DPR menyepakati target penerimaan pajak pada 2024 senilai Rp 1.988,9 triliun. Dengan proyeksi ekonomi 2024 tumbuh 5,2%, rasio perpajakan pada tahun depan diyakini akan lebih tinggi ketimbang tahun ini.
Untuk mengamankan target tersebut, ada sejumlah kebijakan pajak yang akan diterapkan pada 2024. Salah satu kebijakan tersebut adalah penyusunan daftar sasaran prioritas pengamanan penerimaan pajak (DSP4). Orang kaya, wajib pajak grup, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital menjadi prioritas pengawasan.
Selain itu, implementasi coretax administration system (CTAS) atau pembaruan sistem inti administrasi pajak (SIAP) juga diharapkan mampu mendukung upaya untuk merealisasikan target penerimaan pajak pada tahun depan.
Dalam konteks pembaruan SIAP, otoritas berencana mulai mengimplementasikan taxpayer account management (TAM) pada 1 Mei 2024. TAM berisi data-data wajib pajak, seperti pembayaran, bukti transfer, permohonan keberatan, dan lainnya.
Melalui TAM, wajib pajak juga bisa mengecek kembali kesesuaian antara pembayaran pajak dan pencatatannya. Dengan demikian, tercipta transparansi data antara wajib pajak dan otoritas yang pada akhirnya berpengaruh pada ketepatan perlakuan (treatment).
Ketepatan perlakuan berdasarkan pada profil risiko wajib pajak juga akan terjadi dalam proses bisnis pemeriksaan. Terlebih, pemeriksaan menjadi salah satu dari 21 proses bisnis yang akan berubah dengan adanya pembaruan SIAP.
Dalam berbagai pemberitaan di media massa, termasuk DDTCNews, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan proses bisnis yang berjalan ke depan akan menggunakan pendekatan kepatuhan berbasis risiko (risk-based compliance approach). Artinya, tidak setiap wajib pajak menjadi sasaran pemeriksaan.
Poin penting yang dapat dipetik dari program dan arah kebijakan untuk mencapai target penerimaan pajak pada 2024 tersebut adalah makin mendesaknya pemahaman wajib pajak atas posisinya di mata otoritas pajak saat ini.
Artinya, wajib pajak masuk kriteria berisiko tinggi atau berisiko rendah. Dengan adanya pengelompokan berdasarkan pada profil risiko tersebut, wajib pajak juga bisa memastikan masuk atau tidaknya sebagai sasaran pengawasan dan/atau pemeriksaan.
Untuk itu, layaknya medical check-up terkait dengan kesehatan tubuh, wajib pajak juga perlu melakukannya terhadap posisi pajak perusahaan. Medical check-up dalam konteks pajak tersebut dikenal luas dengan istilah Tax Control Framework (TCF).
MENURUT OECD (2016), TCF merupakan bagian dari sistem kontrol internal perusahaan untuk memastikan keakuratan serta kelengkapan laporan pajak dan pengungkapan informasi yang dilakukan wajib pajak. Dengan kata lain, TCF sangat diperlukan agar internal wajib pajak dapat meminimalkan kekeliruan dan memitigasi risiko-risiko pajak.
Penerapan TCF dapat bermanfaat bagi wajib pajak dalam mempertanggungjawabkan, baik strategi maupun laporan pajak yang dihasilkan (van der Eenden dan Bronzewska, 2014).
Tujuan utama dari TCF adalah untuk memberi jaminan yang dapat diverifikasi bahwa risiko pajak tidak akan timbul karena kurangnya kontrol atau ketidakpahaman adanya risiko di internal wajib pajak. Dengan TCF, wajib pajak dapat membangun fungsi pajak dalam organisasi yang efektif, efisien, dan transparan (Sharvari Kale, 2021)
Dengan adanya TCF, wajib pajak dapat menunjukkan bahwa dia memegang kontrol atas urusan pajaknya. Dengan demikian, informasi yang diberikan kepada otoritas pajak berguna dalam pengelolaan risiko pajak yang dijalankan oleh pemerintah (compliance risk management/CRM).
Di Indonesia sendiri, pada saat ini, CRM diatur dalam SE-39/PJ/2021 yang merupakan proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak. Dalam penerapan CRM, DJP baru hanya mengandalkan data dari laporan wajib pajak (seperti SPT) serta data dari skema pertukaran dengan instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP).
Oleh karena itu, hadirnya TCF dapat membantu otoritas pajak untuk memantau secara lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran sehubungan dengan pelaksanaan hak serta pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan pada aplikasi CRM.
Tentunya, hal tersebut dapat menjadi peluang bagi wajib pajak untuk mendapatkan predikat percaya dari DJP. Saat wajib pajak dapat makin ‘dipercaya’ oleh otoritas pajak maka peluang terjadinya sengketa pajak makin kecil (Tom Toryanik, 2021).
Terlebih lagi, sesuai dengan SE-05/PJ/2022 yang diterbitkan pada 10 Februari 2022, direktur jenderal pajak mengatur proses bisnis pengawasan kepatuhan wajib pajak dengan menggunakan pendekatan end-to-end. Pendekatan end-to-end terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, tindak lanjut, serta pemantauan dan evaluasi pengawasan
Tujuannya adalah untuk memberikan suatu pendekatan yang komprehensif dalam rangka mewujudkan kepatuhan berkelanjutan dari wajib pajak (kepatuhan sukarela) atas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada akhirnya, hal tersebut dapat mendukung tercapainya penerimaan pajak yang optimal.
Kepatuhan berkelanjutan yang berlandaskan kepatuhan sukarela (cooperative compliance) wajib pajak sendiri memerlukan setidaknya 3 komponen utama. Pertama, kesepahaman antara otoritas dan wajib pajak tentang syarat dan ketentuan cooperative compliance.
Kedua, penilaian terhadap risiko perpajakan dari wajib pajak yang akan mengimplementasikan cooperative compliance. Ketiga, real-time working yang memungkinkan pengawasan secara terus-menerus otoritas pajak terhadap wajib pajak (Larsen dan Oats, 2019).
ADANYA CTAS atau SIAP, program CRM dan penyusunan daftar prioritas, serta pendekatan end-to-end DJP terhadap kepatuhan wajib pajak yang berkelanjutan membuat tugas wajib pajak makin berat dalam pemberian tanggapan atas proses bisnis serta penyusunan sistem dan kontrol yang dimiliki untuk mengelola risiko.
Oleh karena itu, kebutuhan akan dokumentasi TCF sebagai media pembuktian kepada otoritas pajak, bahwa wajib pajak secara transparan bersedia berkolaborasi dengan sukarela (comply cooperatively), nyatanya makin mendesak.
Pada akhirnya, suatu dokumentasi TCF yang well-established memungkinkan wajib pajak untuk memastikan bahwa setiap kewajiban perpajakan dan aspek administrasi dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketika suatu dokumentasi TCF diselaraskan dengan rencana bisnis dan identitas perusahaan, setiap pilihan serta peluang dapat disertai dengan perhitungan risiko dan rencana mitigasi untuk memperkuat kepastian pajak.
Sebagai contoh, TCF memungkinkan wajib pajak untuk mengidentifikasi perubahan yang relevan terhadap suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari sini, wajib pajak dapat secara objektif mengungkap semua pengaturan bisnis (business arrangements) yang dapat memengaruhi posisi pajak wajib pajak.
Setelah itu, keputusan tepat dapat diambil terkait dengan langkah yang harus dilakukan serta cara pengalokasian sumber daya secara efisien. Otoritas pajak nantinya dapat diyakinkan bahwa semua kewajiban pajak (baik formal maupun material) wajib pajak telah dipenuhi disertai dengan risiko pajak yang mungkin terjadi.
Pada akhirnya, TCF memungkinkan terjadinya berbagai macam transaksi yang dapat membantu wajib pajak untuk terlibat dalam program kepatuhan yang kooperatif. Dengan demikian, kolaborasi saling percaya antara wajib pajak dan otoritas pajak dapat terbangun demi terciptanya kepastian akan posisi pajak dari wajib pajak.
Pada 7 November 2023, DDTC Academy mengadakan webinar terkait transfer pricing control framework (TPCF) yang merupakan bagian integral dari TCF. Ikuti webinar ini agar Anda memperoleh pengetahuan bagaimana cara menyusun dan menerapkan TPCF sebagai bentuk tata kelola pajak internal perusahaan yang efektif.
Webinar ini berjudul TP Control Framework: Konsep dan Implementasinya. Ayo daftar sekarang di https://academy.ddtc.co.id/free_event. Acara ini gratis dan terbuka untuk umum! (sap)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.