LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Pajak Karbon dan Antisipasi Dampak CBT Uni Eropa ke Indonesia

Redaksi DDTCNews | Selasa, 07 November 2023 | 10:56 WIB
Pajak Karbon dan Antisipasi Dampak CBT Uni Eropa ke Indonesia

Muhamad Iqbal Nurrasyid,
Kota Pekalongan, Jawa Tengah

PEMERINTAH telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca menjadi 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional. Hal ini tidak lepas dari tren global yang menunjukkan keseriusan negara-negara menangani isu lingkungan dan perubahan iklim.

Isu lingkungan dan perubahan iklim telah merambah pada perdagangan global. Terbaru, Uni Eropa (UE) mempersiapkan carbon border adjustment mechanism (CBAM) atau carbon border tax (CBT) sebagai pendukung perdagangan karbon (emissions trading system/ETS) di wilayah tersebut.

UNCTAD (2021) menyebut kebijakan CBT dirancang untuk mengatasi adanya kebocoran karbon yang dilakukan oleh industri UE. Kebocoran itu bisa muncul ketika industri memindahkan tempat produksinya ke negara dengan aturan emisi yang lebih longgar.

Pada dasarnya, kebocoran karbon memiliki dua kemungkinan. Pertama, adanya globalisasi sehingga memungkinkan industri berpindah dari dalam negeri ke luar negeri. Kedua, murni adanya transaksi lintas negara (cross border).

Gagasan adanya potensi kebocoran tersebut muncul karena distorsi yang dialami industri UE atas pengenaan pajak karbon. Perusahaan di UE harus membayar biaya untuk menginternalisasi ekternalitas atas karbon.

Di sisi lain, perusahaan polutan yang beroperasi di luar UE—yang tidak mengenakan pajak karbon—dapat mengekspor barang ke UE tanpa dikenai pajak karbon. Akibatnya, pajak karbon akan mengurangi daya saing industri dalam negeri UE. Prinsip equity juga tidak terpenuhi.

CBT sendiri akan mulai diterapkan pertama kali pada Oktober 2023. Dengan CBT, ada biaya tambahan atas impor barang dari produk padat karbon yang masuk ke UE. Namun, negara yang telah menerapkan kebijakan iklim yang setara seperti di UE dapat dikecualikan (BCG, 2020).

Lantas, bagaimana sikap Indonesia dalam menghadapi hal ini? Terlebih, Singapura, Kanada, dan Amerika Serikat juga tengah mempertimbangkan untuk menerapkan kebijakan yang serupa (Anrina & Tonggo, 2021).

Tarif Pajak Relatif Rendah

INDUSTRI di Indonesia sudah dipastikan akan terkena dampak dari kebijakan CBT UE. Tujuan dari pemberlakuan CBT adalah untuk mendorong secara tidak langsung negara-negara di luar UE untuk lebih serius dalam melakukan pengurangan emisi.

Jika kita melihat dinamika yang terjadi di Indonesia, penerapan kebijakan carbon pricing masih belum efektif dan belum menemui titik temu pelaksanaannya. Padahal Indonesia telah memiliki dasar hukum yang mengatur terkait dengan rencana penerapan kebijakan carbon pricing.

Dasar hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang mengatur terkait dengan kebijakan pajak karbon serta Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang salah satunya mengatur terkait dengan perdagangan karbon.

Jika kita melihat pengaturan dalam UU HPP, tarif pajak karbon di Indonesia relatif sangat rendah, yaitu hanya senilai Rp30.000 per ton CO2e. Apabila dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, tarif di Indonesia masih kalah jauh.

Adapun tarif pajak karbon di Singapura dikenakan secara progresif atau meningkat setiap periode. Pada tahun ini, tarif pajaknya adalah SG$5 atau sekitar Rp55.900 per ton CO2e. Namun, pada 2024 – 2025, tarifnya akan naik menjadi SG$25 atau sekitar Rp280.000 per ton CO2e. Pada 2026, tarif naik menjadi SG$45 atau sekitar Rp502.000 per ton CO2e dan seterusnya (Kurniati, 2022).

Meskipun CBT mengecualikan negara yang telah menerapkan kebijakan penurunan emisi, rendahnya tarif pajak karbon di Indonesia belum tentu akan membuat UE membebaskan Indonesia. Artinya, industri Indonesia yang melakukan ekspor ke UE masih akan tetap berpotensi terdampak.

Bonus Demografi

KEBIJAKAN CBT, yang diterapkan secara unilateral oleh UE, dianggap sebagai hambatan dalam perdagangan global. Negara yang belum menerapkan kebijakan yang setara tentu akan kehilangan pangsa pasar, khususnya di wilayah UE.

Contoh, China menjadi salah satu penyumbang emisi karbon global terbesar dan pengekspor utama barang barang manufaktur padat karbon (Kim & Finley, 2022). Hal tersebut tentunya akan membuat China menjadi target penting dari kebijakan CBT ketika sudah terimplementasi.

Ketika produk yang mengandung karbon dari Negeri Tirai Bambu sudah tidak lagi laku untuk dijual di wilayah UE, China akan mencari pangsa pasar di negara lain. Tentu saja, negara yang dimaksud belum menerapkan kebijakan terkait dengan iklim secara ketat.

Indonesia yang belum memiliki kebijakan yang ketat terkait dengan iklim bisa menjadi tujuan pasar menarik bagi negara lain. Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar ke-4 di dunia yang akan diperkirakan mencapai 285 juta jiwa pada 2030.

Adanya bonus demografi ini membuat Indonesia akan menjadi destinasi tujuan bagi negara lain untuk menjual produk yang mengandung karbon tinggi. Jika hal ini terus dibiarkan, Indonesia kesulitan dalam mencapai komitmennya untuk menurunkan emisi karbon dan gas rumah kaca.

Oleh karena itu, pada 5-10 tahun ke depan, pemerintah sebaiknya berfokus meningkatkan komitmen dan keseriusan agar kebijakan pajak karbon serta perdagangan karbon dapat terlaksana secara efektif. Indonesia juga dapat menyertakan kebijakan carbon border tax sebagai pendukung.

Namun, apabila penerapan kebijakan pajak karbon dan perdagangan karbon masih sulit, pemerintah perlu memikirkan langkah untuk membenahi lingkungan dan mengurangi emisi karbon. Langkah ini terutama pada sektor yang paling mencemari lingkungan.

Kemudian, pemerintah juga perlu memikirkan aspek-aspek yang harus dipersiapkan, khususnya terkait dengan investasi pembangkit listrik dari energi terbarukan, seperti bertenaga hidro, geothermal, panel surya, atau energi lain yang ramah lingkungan.

Dengan demikian, apabila langkah tersebut sudah diterapkan dengan baik, Indonesia berpotensi untuk dikecualikan dari pengenaan CBT oleh negara lain meskipun belum memiliki mekanisme perdagangan karbon atau yang serupa.

Mungkin tidak dapat terjadi dalam waktu singkat. Namun, hal tersebut dapat memberikan pandangan positif dari negara lain atas usaha Indonesia dalam memperbaiki nilai rapor yang masih buruk terkait dengan pengurangan emisi karbon dan gas rumah kaca.

Isu ini perlu menjadi perhatian calon presiden dan calon wakil presiden yang maju dalam pemilihan umum 2024. Terlebih, persiapan menjelang puncak momentum bonus demografi juga berada di tangan pemerintahan yang baru.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN