Rahma Intan Anindita
,SEJAK 1983, melalui reformasi perpajakan yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) PPh, imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Namun, dengan adanya UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), konsep yang sudah mengakar dan mendarah daging dalam sejarah perpajakan Indonesia selama 38 tahun tersebut diubah. Perubahannya tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.
Dengan perubahan tersebut, natura dan/atau kenikmatan yang diterima dan/atau diperoleh pegawai dan/atau pemberi jasa tidak lagi dikecualikan dari pajak penghasilan, kecuali yang diatur sebagai pengecualian dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
Banyak masyarakat menganggap bahwa pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan adalah jenis pajak baru dan bertujuan untuk memperluas basis pajak. Namun, benarkah pemerintah diuntungkan dan memperoleh penerimaan negara lebih besar dengan pengaturan terbaru ini?
Pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan bukan hanya terjadi di Indonesia. Di luar negeri, istilah yang seringkali digunakan atas natura dan/atau kenikmatan adalah fringe benefit atau benefit in kind. Negara yang menerapkan pajak atas natura dan/atau kenikmatan antara lain Australia yang menerapkan fringe benefit tax (FBT) (ATO, 2023).
PMK 66/2023 yang mulai berlaku 1 Juli 2023 mengatur beberapa pemberian yang dikecualikan dari pemajakan natura/kenikmatan. Apabila kita cermati, beberapa pengecualian tersebut dikhususkan untuk meminimalisasi jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh pegawai berpenghasilan rendah. Pengecualian-pengecualian tersebut antara lain, pertama, bingkisan selain yang diberikan dalam rangka hari raya yang diterima pegawai dengan jumlah tidak lebih dari Rp3 juta per tahun pajak.
Kedua, fasilitas olahraga selain golf, pacuan kuda, balap perahu bermotor, terbang layang, dan/atau olahraga otomotif yang diterima pegawai dengan jumlah tidak lebih dari Rp1,5 juta per tahun pajak. Ketiga, fasilitas tempat tinggal komunal. Keempat, fasilitas tempat tinggal individual yang diterima pegawai dengan nilai tidak lebih dari Rp2 juta. Kelima, fasilitas kendaraan selain yang diterima pemegang saham dan pegawai dengan rata-rata penghasilan bruto dalam 12 bulan terakhir lebih dari Rp100 juta per bulan.
Konsiderans PMK menyatakan bahwa PMK bertujuan untuk menciptakan keadilan. Lima pengecualian di atas merupakan keberpihakan pemerintah kepada pegawai level bawah. Jika melihat tujuan dari PMK, yaitu menghindari penggerusan basis pajak, dapat disimpulkan bahwa pemajakan atas pengaturan terbaru ini menyasar top level management.
Tujuan utama dari pengaturan terbaru ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya pemerintah untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang lazim digunakan selama ini. Alih-alih memberikan high level employee penghasilan berupa uang, yang akan dikenakan tarif berlapis Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dengan tarif paling atas 35%, perusahaan lebih nyaman memberikan fasilitas atau barang kepada high level employee.
Sebagaimana kita ketahui, top level management, seperti jajaran direksi, sering kali mendapatkan fasilitas fantastis dari perusahaan berupa kendaraan, rumah, apartemen, dan lain lain. Sementara itu, pada saat yang sama pegawai level rendah harus menyisihkan sebagian gajinya guna membayar tempat tinggal dan transportasi.
Dipandang dari sisi keadilan, terdapat ketimpangan pemajakan apabila pegawai level rendah yang hanya menerima penghasilan berupa uang dikenakan pajak penghasilan atas uang tersebut. Di sisi lain, pegawai level tinggi dengan aneka fasilitas dan barang yang diberikan perusahaan, bebas pajak atas pemberian-pemberian tersebut. Dengan demikian, tujuan pemberlakuan PMK tentang pajak natura sudah tepat, yakni menciptakan keadilan. Apa pun jenis penghasilannya, baik itu berupa uang, barang, atau fasilitas, akan dikenakan pajak.
Perlu diingat, selain berfokus kepada pemajakan dari sisi pegawai, pengaturan terbaru natura/kenikmatan memberikan ruang kepada perusahaan untuk membebankan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemberian natura/kenikmatan kepada pegawai/pemberi jasa. Hal ini berbeda dengan pengaturan sebelum UU HPP, yaitu pemberian dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan harus dilakukan koreksi positif di SPT Tahunan atau tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Melihat berbagai pengecualian yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK 66/2023, dan atas pemberian yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan tersebut juga dapat dibebankan oleh perusahaan, negara menanggung risiko berupa potential loss atas pengaturan terbaru ini.
Potential loss terjadi ketika perusahaan memberikan natura/kenikmatan yang masuk dalam positive list sebagai yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Dalam hal ini, perusahaan dapat membebankan pemberian dalam bentuk natura/kenikmatan tersebut.
Kemudian, dari segi penerima natura/kenikmatan, fasilitas tersebut bukan merupakan objek pajak penghasilan. Artinya, terdapat pengurangan penghasilan kena pajak dari sisi perusahaan dan tidak ada penambahan pajak penghasilan orang pribadi dari sisi pegawai.
Dengan demikian, mengingat risiko potential loss tersebut, penulis menyimpulkan pengaturan terbaru atas natura/kenikmatan bukan merupakan perluasan tax base, tetapi lebih kepada peningkatan kesejahteraan low level employee. Kebijakan ini juga bertujuan mewujudkan keadilan untuk seluruh pegawai yang diberikan penghasilan dalam bentuk apa pun, baik uang, barang, maupun fasilitas. Pajak atas natura dan/atau kenikmatan merupakan wujud nyata pemerintah untuk memihak kepada kesejahteraan pegawai kelas bawah dan berusaha untuk redistribusi pendapat dari high level employee.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.