Shinta Amalia
,Sadarkah Anda bahwa Indonesia sudah dua dasawarsa menerapkan sistem desentralisasi? Jika diibaratkan manusia, implementasi kebijakan tersebut sudah setara dengan pemuda yang hampir lulus bangku perkuliahan.
Disahkannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi tonggak penerapan desentralisasi di Indonesia. Saat itu, berbagai ahli menilai bahwa desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah terkesan ambisius. Alasannya, kebijakan itu mengalihkan otoritasisasi politik dan sumber daya keuangan ke tingkat pemerintahan daerah secara keseluruhan.
Nyatanya, pemerintah pusat percaya diri dan tetap melakukan desentralisasi. Pemerintah berpendapat bahwa dengan adanya otonomi daerah, kinerja daerah akan meningkat. Salah satu pelimpahan wewenang yang cukup krusial adalah desentralisasi fiskal. Desentralisasi ini mengalokasikan sumber daya keuangan yang berimplikasi langsung terhadap belanja daerah, kualitas pelayanan publik, hingga keberlanjutan fiskal nasional.
Pertanyaannya, apakah kinerja daerah sudah sesuai dengan harapan pemerintah pusat?
Mandiri atau Bergantung?
Harapan dari penerapan desentralisasi adalah kemandirian daerah. Sebab, pemerintah daerahlah yang lebih mengerti daerahnya sendiri sehingga pembangunan akan lebih terarah.
Kemandirian daerah atau kapasitas fiskal daerah adalah indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintah daerah, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. Hal ini menyiratkan bahwa daerah yang memiliki kemandirian fiskal adalah daerah yang memiliki sumber pendapatan asli yang tinggi.
Pemerintah daerah sendiri diberikan wewenang yang lebih luas untuk mengumpulkan pendapatan asli daerahnya. Salah satunya adalah melalui pemungutan pajak daerah. Hal ini diatur dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Undang-undang tersebut memberikan arahan kepada pemerintah daerah terkait dengan penerapan pajak daerah.
Adapun indikator kemandirian fiskal daerah dinyatakan dalam indeks kapasitas fiskal daerah (IKFD). Berdasarkan PMK 193/PMK.07/2022 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, terdapat 8 provinsi yang memiliki IKFD sangat rendah, 7 provinsi IKFD rendah, 9 provinsi IKFD sedang, 3 IKFD tinggi, serta 7 IKFD sangat tinggi. IKFD sangat rendah cukup mendominasi, yakni 23,52% dari seluruh provinsi di Indonesia.
Selain itu, kemandirian fiskal di kota atau kabupaten juga masih didominasi dengan kategori IKFD rendah ataupun sangat rendah.
Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan berkelanjutan. Jika kemandirian fiskal suatu daerah rendah, ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat akan tinggi. Pemerintah pusat perlu menambal kekurangan dana di daerah dengan mengalokasikan dana transfer ke daerah yang cukup tinggi.
Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, anggaran transfer ke daerah dan dana desa terus meningkat. Pada 2023 ini, pemerintah merencanakan anggaran transfer ke daerah senilai Rp811,7 triliun dalam RAPBN. Nominal tersebut setara dengan 33% penerimaan APBN atau sepertiganya. Cukup fantastis, bukan?
Menggaungkan Pajak Daerah
Pembicaraan tentang pajak masih minim di tengah masyarakat Indonesia. Padahal, dari mana dana pembangunan jalan, jembatan, atau pasar yang kita manfaatkan setiap hari?
Pemerintah pusat menargetkan pendapatan negara sejumlah Rp2.443,6 triliun, dengan Rp2.016,9 triliun di antaranya berasal dari penerimaan perpajakan atau hampir setara 82,5%.
Sebagai gambaran, bayi usia kurang dari 1 tahun memiliki cairan tubuh sebesar 80% hingga 85%. Jika persentase tersebut tidak dapat dipenuhi, bayi dapat mengalami dehidrasi hingga kematian. Coba kita bayangkan jika negara adalah bayi yang kekurangan cairan. Akibatnya bisa fatal.
Adapun di dalam pemerintahan daerah, salah satu cara untuk meningkatkan kemandirian fiskal adalah dengan meningkatkan penerimaan pajak daerah. Namun, kontribusi pajak daerah saat ini masih cukup rendah.
Jawa Tengah dengan predikat IKFD sedang, kontribusi pajak daerahnya sebesar 58,35% dari seluruh penerimaan daerah yang direncanakan dalam APBD 2023. Adapun pendapatan transfer pemerintah pusat yang direncanakan adalah sebesar 31,31% dari pendapatan daerah.
Sedangkan provinsi Jambi yang memiliki predikat sangat rendah, kontribusi pajak daerahnya sebesar 39,06% dari seluruh penerimaan daerah yang direncanakan dalam APBD 2023. Selain itu, pendapatan transfer pemerintah pusat yang direncanakan adalah sebesar 53,38% dari pendapatan daerah.
Dua contoh di atas cukup dapat menggambarkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat cukup tinggi. Kondisinya akan makin berat ke depan, mengingat pemerintah daerah tak lagi dapat bergantung kepada sumber daya alam (SDA). Lambat laun cadangan SDA yang bisa dimanfaatkan akan makin terkikis.
Mau tak mau, pajak daerah adalah katalisator kemandirian fiskal daerah ke depan. Karenanya, bukankah sudah saatnya menggaungkan pajak daerah ke masyarakat?
Beberapa tahun ke belakang Ditjen Pajak (DJP) merancang dan menerapkan inklusi pajak. Salah satunya adalah dengan kegiatan Pajak Bertutur, sebuah kegiatan untuk mengenalkan pajak ke siswa-siswi SD, SMP, dan SMA. Otoritas juga telah menggandeng beberapa universitas untuk membangun tax center, bahkan mengangkat jabatan baru yakni penyuluh pajak yang tugasnya berfokus dalam memberikan edukasi pajak.
Beberapa langkah tersebut dapat menjadi contoh pemerintah daerah dalam pengenalan pajak daerah kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah pusat dapat berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk inklusi pajak daerah ini. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.
Pemerintah daerah semestinya dapat berpikir lebih kreatif untuk menjangkau anak muda. Masyarakat usia muda adalah aset kini dan nanti. Tahun depan ketika pesta pemilihan umum berlangsung, para pemuda sudah tidak hanya mendengarkan jualan-jualan calon pemimpin tentang mega pembangunan yang berkelanjutan, tapi juga mengkritisi asal muasal dananya.
Masyarakat tak perlu risau soal pemungutan pajak. Pemungutan pajak sudah diatur dalam perundang-undangan. Masyarakat khususnya para pemuda dapat ikut serta mengawal proses pemungutan pajak pusat maupun daerah sekaligus mengawasi penggunaannya.
Stephen Covey, penulis buku best-seller berjudul The Seven Habbits of Highly Effective People mengatakan life is not accumulation, it is about contribution. Terjemahannya, hidup bukanlah akumulasi, hidup adalah tentang konstribusi. Jadi, apa kontribusi yang telah kita berikan kepada negara?
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.