LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Opsi Solusi Tax Ratio Tinggi

Redaksi DDTCNews | Kamis, 12 September 2024 | 17:05 WIB
Opsi Solusi Tax Ratio Tinggi

Jennis Polin Situmorang,
Kota Medan - Sumatra Utara

RASIO pendapatan negara 23% dari produk domestik bruto (PDB) merupakan salah satu janji yang disampaikan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran. Angka ini cukup banyak mendapat sorotan publik karena ditargetkan bisa terealisasi selama masa pemerintahan lima tahun mendatang. Terlebih, agar rasio itu meningkat, pemerintah perlu menggenjot penerimaan pajak.

Hal tersebut dikarenakan mayoritas pendapatan negara disumbang oleh pos penerimaan pajak. Sayangnya, OECD (2023) melaporkan tax ratio Indonesia masih paling rendah dibandingkan dengan capaian di negara-negara Asean. Pada 2023, tax ratio Indonesia masih berada pada level 10,31% dan hanya bergerak pada kisaran 9%-12% selama 10 tahun terakhir.

Kondisi itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, tingginya sektor informal dalam perekonomian yang memungkinkan praktik tax evasion. Kedua, adanya pergeseran konsumsi berbasis digital yang makin masif tetapi sistem pajak saat ini belum mampu menangkap potensi aktivitas tersebut sepenuhnya. Ketiga, adanya policy gap, misalnya pengecualian PPN. Keempat, adanya compliance gap.

Dengan adanya beberapa faktor yang berpengaruh tersebut, pemerintah perlu membuat strategi peningkatan tax ratio dengan akurat dan cermat. Ada beberapa alternatif solusi yang terbagi dalam rentang waktu jangka pendek dan menengah.

Jangka Pendek

DALAM jangka pendek, pemerintah dapat memperkuat penggunaan teknologi informasi. Strategi ini tampaknya telah dilaksanakan lewat pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS). Adapun CTAS diharapkan menjadi sistem yang lebih unggul untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasan pajak.

Contoh, tingkat kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2023 masih sekitar 88%. Implementasi CTAS diharapkan bisa meningkatkan sisi pelayanan terhadap wajib pajak yang mengusung kemudahan. Misalnya, notifikasi batas waktu pelaporan dan pembayaran pajak. Hal ini diharapkan dapat mengerek kepatuhan pajak secara nasional.

Pemerintah juga perlu melakukan ekstensifikasi basis pajak. Salah satu penyebab sulitnya untuk meningkatkan tax ratio adalah tingginya sektor informal dalam perekonomian. Banyak usaha perorangan ataupun keluarga yang tidak terdaftar dalam sistem informasi milik otoritas (tidak memiliki NPWP) sehingga negara kehilangan potensi pajak.

Otoritas pajak telah melakukan sinkronisasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dalam konsep Single Identification Number (SIN). Dengan adanya SIN, seluruh tambahan kemampuan ekonomis masyarakat akan terekam dalam sistem informasi. Alhasil, celah untuk melakukan penghindaran pajak bisa dipersempit.

Kemudian, pemerintah harus melakukan intensifikasi basis pajak. Penerimaan pajak utamanya ditopang oleh PPh badan dan PPN. Dalam jangka pendek, melihat tren selama ini, PPh badan dan PPN masih akan tetap menjadi andalan utama dalam upaya mengoptimalkan penerimaan pajak.

Oleh karena itu, peningkatan tarif bisa menjadi opsi untuk meningkatkan penerimaan pajak. Adapun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, terlebih setelah berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN akan kembali naik menjadi 12% yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

Jangka Menengah

UNTUK jangka menengah, pemerintah dapat fokus pada optimalisasi potensi dari sektor usaha yang selama ini memiliki dampak besar terhadap perekonomian tetapi kecil pada penerimaan pajak, seperti sektor pertanian. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, pertanian berkontribusi 13,02% terhadap PDB tetapi setoran pajak dari sektor ini masih di bawah 3%.

Fakta itu mengindikasikan terdapat policy gap, seperti pengecualian pengenaan PPN pada sektor pertanian. Pemerintah harus mengkaji ulang negative list barang kena pajak (BKP) sektor pertanian. Misalnya, menetapkan batasan harga tertentu yang terutang PPN sehingga masyarakat yang mampu tetap membayar pajak dan bukan sebaliknya justru menikmati fasilitas pembebasan pajak.

Kemudian, masih dalam jangka menengah, pemerintah perlu melihat struktur penerimaan pajak. Saat ini, kontribusi PPh badan masih sekitar 29%, sedangkan PPh orang pribadi hanya 9%. Situasi ini berbanding terbalik dengan rata-rata negara OECD. Dengan perubahan fokus pada sektor pertanian yang serapan tenaga kerjanya mencapai 88,42%, diharapkan terjadi peningkatan setoran pajak orang pribadi mendekati rata-rata negara OECD.

Selain itu, fenomena pergeseran konsumsi berbasis digital yang makin masif juga perlu menjadi perhatian. Pemerintah perlu melakukan sikronisasi data transaksi elektronik dari penyedia jasa digital dengan sistem informasi otoritas pajak sehingga kegiatan ekonomi digital dapat diawasi.

Misalnya, data penjualan dari setiap gerai yang terdaftar pada aplikasi layanan digital. Kemudian, sistem withholding tax bisa diterapkan kepada para pengguna layanan digital untuk mengamankan penerimaan negara. Pemerintah harus segera menunjuk penyedia layanan digital untuk memungut atau memotong pajak dari para pengguna layanan.

Sinkronisasi akses layanan publik dan pajak juga dapat menjadi strategi lain yang patut dipertimbangkan. Misalnya, pemerintah memberikan certificate tax clearance yang merupakan fasilitas berupa surat keterangan wajib pajak patuh. Hal ini wajib dipergunakan untuk pengurusan akses layanan publik, seperti pengurusan paspor dan visa.

Dari semua strategi di atas, yang tidak kalah penting juga adalah peningkatan kepercayaan masyarakat pada sistem pajak serta manfaat yang dapat dirasakan. Dalam konteks ini, diperlukan juga sinergi antarlembaga untuk menutup celah korupsi. Dengan demikian, ada optimalisasi belanja dari uang pajak untuk kepentingan masyarakat.

Negara-negara Nordik, seperti Finlandia, Swedia, dan Denmark, dapat dijadikan contoh. Mereka memungut pajak yang sangat tinggi tetapi disertai dengan pemberian fasilitas yang dapat dinikmati masyarakat, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan dan jaminan hari tua. Kerelaan masyarakat untuk membayar pajak pun akan turut meningkat atas asas kepercayaan dan kemanfaatan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN