LAPORAN OECD

OECD Rilis Working Paper tentang Desain Presumptive Tax

Muhamad Wildan | Jumat, 17 Februari 2023 | 11:30 WIB
OECD Rilis Working Paper tentang Desain Presumptive Tax

Working paper OECD bertajuk The Design of Presumptive Tax Regimes.

PARIS, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis working paper yang bertajuk The Design of Presumptive Tax Regimes.

Dalam working paper tersebut, OECD mengembangkan kerangka analitis yang dapat membantu stakeholder untuk mengidentifikasi dan membandingkan rezim presumptive tax yang berlaku di setiap negara.

"Perbandingan diperlukan agar otoritas pajak dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari presumptive tax yang berlaku," tulis Mariona Mas-Montserrat dalam working paper tersebut, dikutip pada Jumat (17/2/2023).

Baca Juga:
WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Dalam rezim presumptive tax, pajak dikenakan berdasarkan basis pajak tertentu yang diasumsikan dapat mencerminkan penghasilan kena pajak yang sebenarnya.

Presumptive tax seringkali diberlakukan oleh yurisdiksi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak tertentu yang tergolong sulit dipajaki (hard to tax), mulai dari wajib pajak yang melakukan pekerjaan bebas sampai dengan UMKM.

Melalui kebijakan presumptive tax, pemerintah berupaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang dimaksud dengan menurunkan biaya kepatuhan melalui penyederhanaan tata cara penghitungan dan pelaporan pajak. Upaya ini juga dapat menurunkan informalitas ekonomi dan memperluas basis pajak.

Baca Juga:
Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Bagi otoritas pajak, kebijakan presumptive tax tersebut dapat menurunkan biaya administrasi. Dengan presumptive tax, pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak juga dapat dilakukan dengan mudah tanpa memerlukan biaya yang berlebih.

Namun, presumptive tax juga memiliki beragam kekurangan. Pertama, presumptive tax berpotensi menghambat pertumbuhan kegiatan usaha. Sebab, terdapat potensi wajib pajak untuk memilih tetap berstatus sebagai UMKM sehingga terhindar dari beban administrasi pajak yang berlebih.

Kedua, presumptive tax juga memiliki potensi mendorong praktik penghindaran dan pengelakan pajak. Pelaku usaha berpotensi secara sengaja memecah kegiatan usahanya atau melaporkan omzet lebih rendah dari yang sebenarnya sehingga terhindar dari kewajiban membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum.

Baca Juga:
Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Ketiga, presumptive tax berpotensi menggerus keadilan sistem pajak. Kelompok wajib pajak yang sama berpotensi menanggung beban pajak yang sama meski memiliki tingkat laba yang berbeda. Sebaliknya, wajib pajak dengan tingkat laba yang sama berpotensi menanggung beban pajak yang berbeda.

Keempat, presumptive tax berpotensi menghambat formalisasi pembelian input. Dalam rezim presumptive tax, wajib pajak tidak diperkenankan untuk mengurangkan biaya. Akibatnya, wajib pajak bakal terdorong untuk memenuhi kebutuhan barang inputnya dari sektor informal sepanjang dapat menekan biaya.

Di Indonesia, presumptive tax juga diberlakukan dalam bentuk PPh final. Hal ini telah dibahas dalam working paper DDTC yang berjudul Meninjau Konsep dan Relevansi PPh Final di Indonesia. Unduh working paper DDTC di sini.

Baca Juga:
Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Guna meningkatkan kepatuhan dari sektor yang tergolong sulit dipajaki, presumptive tax dihadirkan melalui PP 46/2013 yang mengatur tentang pengenaan PPh final sebesar 1% atas peredaran bruto bagi wajib pajak UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar.

Dalam perkembangannya, PP tersebut direvisi dengan PP 23/2018. Revisi tersebut membuat tarif PPh final diturunkan dari 1% menjadi tinggal 0,5%. Adapun tarif 0,5% ini masih dipertahankan hingga saat ini dalam PP 55/2022.

Tak hanya bagi UMKM, presumptive tax dalam bentuk PPh final diterapkan atas usaha jasa konstruksi sejak berlakunya UU 10/1994. Kebijakan tersebut masih berlanjut hingga kini dan telah diperbarui seiring dengan diundangkannya PP 9/2022. (rig)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja