Pertanyaan:
PERKENALKAN, saya Sofia. Saya bekerja sebagai staf corporate tax salah satu perusahaan manufaktur di Kawasan Industri Karawang. Belakangan ini, saya mendengar adanya aturan baru mengenai pembatasan jumlah biaya pinjaman sebagai salah satu instrumen antipenghindaran pajak.
Pertanyaan saya, seperti apa perbedaannya dengan aturan sebelumnya serta hal penting apa yang perlu perusahaan saya pahami? Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Sofia, Karawang.
Jawaban:
TERIMA kasih atas pertanyaannya, Ibu Sofia. Perlu dipahami, ketentuan mengenai pembatasan jumlah biaya pinjaman telah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU PPh s.t.d.t.d UU HPP), yang berbunyi:
“Menteri Keuangan berwenang mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-Undang ini.”
Kewenangan ini pada dasarnya bertujuan untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang, yang bertentangan dengan maksud dan tujuan dalam ketentuan perpajakan.
Hal ini sebagaimana dimuat dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 55 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022). Simak ‘PP 55/2022 Terbit, Instrumen Pembatasan Biaya Pinjaman Diperluas’.
Adapun poin penting perubahannya terletak pada penggunaan metode pembatasan. Sesuai dengan Pasal 42 ayat (1) PP 55/2022, terdapat beberapa metode dalam membatasi jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak, antara lain sebagai berikut:
“Pembatasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak … dilakukan oleh Menteri menggunakan:
Perlu dicatat, dalam ketentuan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan (PMK 169/2015), pembatasan jumlah biaya pinjaman hanya didasarkan pada metode penentuan tingkat perbandingan tertentu antara utang dan modal atau debt to equity ratio (DER).
Sesuai dengan PMK 169/2015, rasio antara utang dan modal dilakukan dengan membandingkan saldo rata-rata utang dan modal setiap akhir bulan pada tahun pajak atau bagian tahun pajak yang bersangkutan. Kemudian, besarnya perbandingan antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi sebesar 4:1.
Dengan adanya PP 55/2022, metode pembatasan jumlah biaya pinjaman diperluas. Tidak hanya DER, kini pemerintah juga dapat menggunakan metode lain, yaitu penetapan persentase tertentu biaya pinjaman dibandingkan dengan pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya pinjaman, pajak penghasilan, penyusutan, dan amortisasi. Metode ini sering disebut dengan earning stripping rule (ESR).
Selain itu, tidak menutup kemungkinan pula adanya penggunaan metode lain selain 2 metode yang sudah disebutkan. Hal ini mengingat adanya klausul mengenai metode lainnya dalam Pasal 42 ayat (1) PP 55/2022. Simak ‘Batasi Biaya Pinjaman Keperluan Pajak, Apa Keunggulan DER dan ESR?’.
Adanya perluasan penggunaan metode ini tentu bisa berdampak terhadap perusahaan. Dampaknya terkait dengan cara penentuan skema permodalan agar dapat selaras dengan ketentuan perpajakan dan terhindar dari risiko-risiko yang tidak diinginkan.
Namun demikian, ketentuan lebih detail mengenai penentuan dan tata cara penerapan penggunaan beberapa metode di atas akan diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri keuangan. Simak ‘Mencermati Kembali Aturan Pembatasan Beban Bunga’.
Demikian jawaban kami. Semoga membantu.
Sebagai informasi, artikel Konsultasi Pajak hadir setiap pekan untuk menjawab pertanyaan terpilih dari pembaca setia DDTCNews. Bagi Anda yang ingin mengajukan pertanyaan, silakan mengirimkannya ke alamat surat elektronik [email protected].
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.