Singgih Wicaksono
,WACANA tentang lembaga pajak yang berada langsung di bawah presiden kerap tersiar. Namun, isu tersebut seolah timbul tenggelam tanpa kejelasan hinggi kini.
Keberadaan lembaga pajak yang independen dinilai mampu memberikan dampak positif bagi Indonesia, khususnya terkait dengan upaya penggalian potensi penerimaan. Penulis memandang keberadaan lembaga pajak di bawah Kementerian Keuangan membuatnya tidak leluasa menentukan arah kebijakannya sendiri. Keterbatasan yang dimiliki lembaga pajak juga mencakup pengaturan anggaran serta manajemen sumber daya manusia (SDM).
Dengan kondisi saat ini, pengambilan keputusan sangat bergantung kepada hierarki kelembagaan. Sebuah rencana kebijakan perlu melewati struktur terbawah hingga ke level menteri atau presiden. Semuanya harus dilalui satu per satu hingga akhirnya diputuskan apakah sebuah rencana program diterima atau ditolak.
Mengacu pada best practice di level internasional, banyak negara yang memiliki lembaga pajak otonom dan memiliki kewenangan yang luas dalam menggali penerimaan. Dengan begitu, target penerimaan pajak bisa tercapai secara optimal. Penempatan lembaga pajak secara langsung di bawah presiden juga bisa dilihat sebagai wujud kepedulian negara terhadap pajak. Apalagi, jika pajak menjadi sumber penerimaan utama bagi negara tersebut.
Di Indonesia, lembaga yang mengurusi pajak masih diposisikan setara unit eselon I. Penulis melihat kondisi yang terjadi saat ini merupakan kontradiktif. Pemerintah ingin menggaet penerimaan pajak yang tinggi, tetapi di sisi lain lembaga yang bertugas mencari penerimaan tidak ditempatkan di level yang semestinya.
Barangkali kita bisa berkaca pada upaya pemberantasan peredaran narkoba. Di Indonesia, pemerintah membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai bentuk keseriusan dalam memerangi penyalahgunaan narkotika. BNN sendiri bertanggung jawab secara langsung kepada presiden. Coba bayangkan apabila hingga saat ini belum terbentuk BNN, separah apa penyalahgunaan narkotika yang tidak teratasi?
Selain BNN, ada pula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK juga merupakan lembaga di bawah presiden langsung yang pembentukannya dilatari keseriusan pemerintah dalam memberantasa kasus korupsi. Dengan adanya KPK, pejabat di negeri ini berpikir lebih banyak untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Dua lembaga yang disebutkan di atas menguatkan pemikiran penulis bahwa sudah semestinya lembaga pajak dinaikkan 'statusnya' ke tingkat lebih tinggi sebagai lembaga independen di bawah presiden. Dengan begitu, otoritas pajak memiliki fleksibilitas dalam bergerak dan mengejar penerimaan negara.
Kementerian Keuangan, menurut penulis, lebih baik berfokus pada pengelolaan anggaran, kebijakan fiskal, manajemen barang milik negara, dan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan kebendaharaan negara. Kemenkeu tidak perlu 'dipusingkan' lagi dengan cara-cara menggali penerimaan pajak.
Jika lembaga pajak nantinya setara dengan menteri, tentunya pimpinannya nanti bisa lebih fokus memikirkan upaya-upaya dalam menggenjot penerimaan. Kondisi tersebut berpotensi meningkatkan penerimaan pajak Indonesia secara signifikan.
Lembaga pajak yang langsung berada di bawah presiden sebenarnya bukanlah angan-angan kosong. Pegawai di bawah Ditjen Pajak (DJP) berjumlah sekitar 40.000 orang dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah SDM yang besar ini menjadi modal untuk menjadikan lembaga pajak yang independen di luar Kemenkeu.
Belum lagi, DJP juga tengah menjalankan pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau coretax system yang bakal menjadikan seluruh pelayanan pajak terintegrasi secara digital. Dari segi SDM, teknologi, dan kemampuan beradaptasi, bisa dibilang DJP sangat mungkin untuk berdiri sendiri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Momentum Pemilu 2024
WACANA dibentuknya lembaga pajak independen di bawah presiden langsung perlu dilirik oleh kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Pemilu 2024 bisa menjadi momentum untuk menggaungkan kembali narasi ini di tengah publik.
Calon pemimpin bangsa yang berkompetisi dalam pemilu 2024 harus melek terhadap reformasi pajak yang kini berlangsung. Tak cukup, reformasi pajak perlu dilanjutkan dengan menjadikan otoritas pajak sebagai lembaga yang mandiri. Membentuk lembaga pajak yang independen bisa menjadi alat kampanye bagi capres-cawapres.
Namun, membangun lembaga pajak yang mandiri di luar Kemenkeu belum cukup. Siapapun presiden yang terpilih perlu melanjutkannya dengan 'bersih-bersih' pegawai pajak. Layaknya sebuah seleksi ulang, presiden perlu memastikan hanya pegawai-pegawai yang berintegritas yang masuk ke dalam lembaga pajak, sedangkan yang tidak memenuhi kualifikasi akan tereliminasi.
Dengan demikian, lembaga pajak menjadi institusi yang benar-benar baru. Harapannya, kepercayaan publik bisa kembali terbangun dan kepatuhan sukarela bisa ikut meningkat. Tak cuma itu, penegakan hukum di sektor pajak juga diyakini bisa membaik karena otoritas memiliki kewenangan penuh di bawah presiden.
Capres-cawapres perlu melihat bahwa dengan dibentuknya lembaga pajak 'baru' maka penerimaan negara berpotensi meningkat. Dengan begitu, Indonesia bisa menjalankan program-program pembangunannya dan memastikan kesejahteraan rakyat terpenuhi. Perlu dicatat, menaikkan status lembaga pajak adalah kepentingan negara untuk jangka panjang.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
sadis
super sekali
wacana ini hrs viral biar menjadi atensi
semangat
bagus sebagai bentuk implementasi delayering
menginspirasi
good opinion
excellent
semoga terealisasi segera
penting tapi belum ada yg berani eksekusi