TAJUK PAJAK

Menyikapi Kasus Pajak Google

Redaksi DDTCNews | Selasa, 01 November 2016 | 21:50 WIB
Menyikapi Kasus Pajak Google

Ilustrasi. (Foto: Karen Bleier/AFP/Getty Images)

PEKAN lalu (26/10), pejabat tinggi Google Asia Pasific menemui sejumlah pejabat Ditjen Pajak (DJP) untuk menegosiasikan tagihan pajak yang ditaksir senilai Rp5,2 triliun. Setelah pertemuan itu, tak satu pihak pun mau berkomentar. Baik pejabat tinggi Google maupun DJP sama-sama memilih diam.

Agaknya, memang belum ada kesepakatan di antara keduanya. Negosiasi masih akan berlanjut. Tarik ulur masih terjadi. Pemerintah tetap dalam posisi untuk menagih utang pajak Google selama 5 tahun, sementara Google bertahan dengan klaim, bahwa besaran tagihan seharusnya tak sebesar itu.

Dengan melihat pendekatan komunikasi yang digunakan oleh kedua belah pihak dalam beberapa pekan terakhir ini, sulit untuk tidak sampai pada kesimpulan, bahwa secara umum baik DJP maupun Google tidak menginginkan kasus ini berakhir di meja hijau. Mereka ingin penyelesaian damai.

Baca Juga:
Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Sejauh ini, DJP toh tidak membuat regulasi baru untuk bisa memajaki Google atau juga secara intensif memainkan isu moralitas dalam upaya menagih utang pajak tersebut, seraya mengobarkan ‘sentimen antikebangsaan’ yang mengancam Google, seperti terlihat di Inggris atau beberapa negara lain.

Sebaliknya, dalam berbagai kesempatan Google tetap berkukuh berkomitmen mematuhi peraturan perpajakan di Indonesia, dan juga beritikad baik menemui pejabat DJP. Dengan kata lain, keduanya tidak berniat berhadapan di pengadilan. Keduanya mengedepankan pendekatan kerja sama, dialog.

Tentu itu bukan sesuatu yang buruk. Tapi kita tahu, dengan regulasi yang belum jelas, ada risiko besar, DJP kalah jika membawa kasus ini ke pengadilan. Sementara komitmen Google ‘mematuhi peraturan perpajakan RI’ itu kurang lebih berarti tak mau membayar pajak dalam jumlah yang ditagih DJP.

Baca Juga:
Urus Pemeriksaan Bukper: Coretax Bakal Hadirkan 4 Fitur Baru

Harus diakui, tidak mudah meracik solusi untuk masalah ini. DJP butuh banyak dukungan untuk bisa membuat aturan baru yang dapat memajaki Google hingga 5 tahun ke belakang. Di sisi lain, aturan itu juga tidak boleh melanggar tax treaty yang sudah disepakati Indonesia dengan negara lain.

Itulah barangkali sebabnya kenapa Pemerintah Thailand misalnya, memilih ‘mengikhlaskan’ tagihan pajak Google pada tahun-tahun sebelumnya, tetapi pada saat yang sama bersiap ‘membalas dendam’ dengan merevisi aturan pemungutan pajak bagi perusahaan internet dan teknologi perusahaan.

Situasinya jadi kompleks karena kasus ini bukan milik Google dan DJP saja. Ada prinsip keadilan pajak yang dipertaruhkan: Mereka yang berpendapatan sama harus dikenakan pajak yang setara, mereka yang berpendapatan tinggi harus membayar pajak lebih banyak dari yang berpendapatan rendah.

Baca Juga:
Hapus NPWP yang Meninggal Dunia, Hanya Bisa Disampaikan Tertulis

Lebih dari 200 tahun silam, Revolusi Prancis telah memberitahu apa risiko yang harus ditanggung apabila negara, atas berbagai pertimbangan politik, enggan menerapkan prinsip keadilan ini. Sudah terlalu banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan apa hasil dari praktik ketidakadilan pajak.

Karena itu, langkah yang dilakukan Pemerintah Inggris untuk menyiasati situasi sulit dalam kasus Google tadi layak dijadikan referensi. Penerbitan diverted profit tax di Inggris yang tak menyalahi tax treaty karena memang bukan pajak penghasilan badan, sudah terbukti efektif memajaki Google.

Pajak tersebut hanya dikenakan jika perusahaan perusahaan penyaluran data melalui internet (Over The Top/ OTT) seperti Google yang enggan mendirikan BUT di dalam negeri diketahui membuat BUT di negara lain yang tarif PPh-nya di bawah 80% dari tarif PPh badan di dalam negeri.

Baca Juga:
Usai Setor PPh Final PHTB, WP Jangan Lupa Ajukan Penelitian Formal

Aturan inilah, yang diiringi dengan kampanye antipenghindaran pajak, yang berhasil memaksa Google kemudian mendirikan BUT di Inggris, setelah ‘benteng pertahanan’ terakhirnya yakni tax treaty, tidak bisa lagi melindungi Double Irish Dutch Sandwich, taktik perencanaan pajak agresifnya.

Langkah ini bisa dikaji untuk diterapkan di Indonesia. Apalagi, secara payung hukum, Menteri Komunikasi dan Informatika telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 3 tahun 2016, yang menyebut bahwa perusahaan OTT di Indonesia wajib membangun BUT, sehingga bisa berstatus wajib pajak.

Tapi kalau langkah ini yang diambil, maka tak ada pilihan lain: Sikap mental DJP dalam kasus pajak Google dengan sendirinya harus mengalami sedikit improvisasi. DJP harus lebih menekan, bukan memfasilitasi. Hak-hak Google tentu tak diabaikan, tapi prinsip keadilan pajak lebih dikedepankan.

Baca Juga:
Coretax DJP Bakal Batasi Pelaporan SPT Tahunan Berbentuk Kertas

Untuk membangun tekanan itu, paling tidak ada dua hal yang harus disiapkan, yaitu regulasi baru untuk bisa memajaki Google, dan kampanye antipenghindaran pajak. Jika yang pertama ‘membuat’ Google menjadi perusahaan ilegal, yang kedua ‘membuat’ Google menjadi perusahaan tak bermoral.

Tidak ada perusahaan yang mau dicitrakan sebagai perusahaan ilegal atau perusahaan tidak bermoral. Tapi tentu Google tidak akan tinggal diam. Raksasa sebesar dia niscaya sudah berhitung. Namun, atas nama keadilan, untuk kemaslahatan, DJP tidak boleh takut. DJP harus berani menekan.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Senin, 21 Oktober 2024 | 15:30 WIB HUT KE-17 DDTC

DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Senin, 21 Oktober 2024 | 14:32 WIB CORETAX SYSTEM

Urus Pemeriksaan Bukper: Coretax Bakal Hadirkan 4 Fitur Baru

Minggu, 20 Oktober 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Hapus NPWP yang Meninggal Dunia, Hanya Bisa Disampaikan Tertulis

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN