Ilustrasi. (DDTCNews)
HINGGA semester I 2016, realisasi penerimaan Ditjen Pajak (DJP) baru 34% dari target Rp1.319 triliun. Realisasi ini adalah capaian terendah dalam beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, realisasi penerimaan DJP sampai semester I mencapai 36%, tahun sebelumnya 42%, tahun sebelumnya lagi 43%.
Dari situ terlihat, pencapaian target penerimaan DJP berada dalam tren menurun. Memang, pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi juga melambat. Tahun lalu, perekonomian kita melaju 4,67%, level terendah untuk beberapa tahun terakhir. Tahun sebelumnya 5,02%, tahun sebelumnya lagi 5,78%.
Di sisi lain, ada kritik serius tentang bagaimana target penerimaan disusun dengan asumsi yang terlalu optimistis alias ketinggian. Kritik ini terutama dialamatkan atas situasi 2 tahun terakhir, di mana target penerimaan pajak dikerek tinggi, masing-masing 30% dan 27% dari realisasi tahun sebelumnya.
Namun, poinnya di sini, dengan mengacu pola penerimaan DJP dalam 5 tahun terakhir, realisasi penerimaan 34% hingga semester I akan menghasilkan capaian penerimaan sepanjang tahun sekitar 80%-85%. Itu berarti, shortfall atau kekurangan target akan berkisar 15%-20%, antara Rp198 triliun - Rp264 triliun.
Konsekuensi akibat lebarnya shortfall penerimaan DJP tentu tidak bisa dianggap enteng. Shortfall penerimaan DJP yang lebih dari 15% jelas berisiko menimbulkan mismatch anggaran, yang juga dapat memicu terjadinya gejolak fiskal, meski dalam skala yang belum bisa dikategorikan fatal.
Kalau mismatch anggaran itu terjadi, dengan sendirinya muncul tekanan untuk menunda realisasi belanja, terutama belanja modal, yang kinerjanya di semester I 2016 sudah membaik signifikan—ditandai penyerapan hingga 22% dari biasanya sekitar 10%. Risiko ini, berikut risiko-risiko turunannya, tentu perlu segera diantisipasi.
Jangan sampai, pemerintah sekonyong-konyong menahan belanja tanpa perencanaan sebelumnya. Atau dalam skenario terburuk, sampai menerbitkan Perppu yang memungkinkan penambahan utang, yang tentu berisiko menggerus kredibilitas kebijakan fiskal dan menurunkan kepercayaan investor.
Dengan melihat risiko-risiko itu, hari ini kita dapat mengambil kesimpulan, untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah harus segera mengubah target anggaran menjadi lebih realistis. Belanja di luar belanja infrastruktur perlu dipangkas untuk menahan tekanan defisit APBN akibat risiko shortfall penerimaan DJP tadi.
Pada saat yang sama, risiko melebarnya shortfall penerimaan DJP harus ditekan. Di sinilah kemudian program pengampunan pajak menawarkan harapan. Kami sendiri melihat peluang merealisasikan penerimaan program amnesti pajak melampaui target Rp165 triliun ada dan terbuka.
Apa yang sudah dilakukan Presiden Jokowi, dengan menggencarkan sosialisasi, memanggil para Kepala Kantor Pelayanan Pajak, juga yang dilakukan Menkeu Sri Mulyani dengan menggandeng Kapolri, adalah hal positif yang bermanfaat untuk keberhasilan program tax amnesty.
Namun, tentu saja itu belum cukup. Peluang sering datang dari terobosan, dan bukan secara kebetulan. Itulah sebabnya, kami berharap pemerintah dapat mempertimbangkan upaya terobosan yang 'lebih membumi' alias lebih bisa dirasakan manfaatnya oleh wajib pajak, guna menaikkan setoran target penerimaan jangka pendek dari program tax amnesty.
Terobosan administrasi untuk memudahkan masuknya uang dari wajib pajak peserta tax amnesty ke kas negara, misalnya. Jangan sampai, uang yang seharusnya sudah masuk menjadi tertunda masuk, atau bahkan batal masuk, hanya karena masalah administrasi belaka atau faktor pelayanan yang tidak maksimal.
Terobosan administrasi lain yang juga layak dikaji adalah bagaimana membuat wajib pajak peserta tax amnesty tidak ketar-ketir. Bukan karena masalah kerahasiaan data, melainkan karena ada celah dilakukannya pemeriksaan untuk semester I 2016, mengingat pelaporan tax amnesty ditenggat 31 Desember 2015.
Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah perlunya pejabat pemerintah lebih berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan. Tax amnesty ini bukanlah topik yang mudah. Jangan sampai, meski niatnya baik, pernyataan yang ditimbulkan justru kontraproduktif dan membingungkan khalayak.
Tidak boleh ada lagi misalnya, pernyataan bahwa tax amnesty ini mengecualikan pengampunan untuk aset hasil ‘pidana korupsi, narkotika, atau perdagangan manusia’. Sebab, memang tak ada pengecualian seperti itu dalam UU Pengampunan Pajak. Hati-hati. Dalam situasi harap dan cemas seperti ini, pernyataan yang salah bisa berakibat fatal.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.