BULAN Juli ini, The Law Reviews menerbitkan edisi kedua dari buku berjudul Transfer Pricing Law Review. Buku ini mengupas rezim transfer pricing dari 23 negara, salah satunya Indonesia. Bab mengenai Indonesia ditulis oleh pakar transfer pricing dari DDTC: Romi Irawan (Partner, Transfer Pricing Services) .
Tentang Buku Ini
The Law Reviews merupakan penerbit dari Inggris yang berkomitmen dalam memberikan tinjauan hukum bisnis di berbagai negara. Berbagai isu mulai dari hukum investasi, restrukturisasi usaha, hingga kompetisi usaha sudah dituangkan dalam buku mereka. Kini, giliran isu transfer pricing.
Hal itu termuat dalam Transfer Pricing Law Review yang berupaya mengajak pembaca untuk memahami berbagai peraturan transfer pricing di berbagai negara. Alasannya sederhana. Pertama, isu transfer pricing merupakan isu pajak internasional yang semakin penting dan menjadi perhatian baik bagi perusahaan multinasional maupun otoritas pajak.
Kedua, walaupun OECD telah memberikan panduan penerapan arm’s length principle beserta pendokumentasiannya, yang tercermin dalam OECD Transfer Pricing Guidelines, ternyata tidak seluruh negara serta merta mengadopsinya secara penuh. Seringkali justru terdapat deviasi dan modifikasi dari panduan tersebut.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa buku ini harus dibaca.
Pertama, dari sisi cakupan dan keandalan. Buku ini menelaah rezim transfer pricing di 23 negara yang berasal dari kawasan yang berbeda: Amerika, Asia, Eropa. Buku ini juga memberikan potret baik di negara maju dan berkembang yang akhirnya memberikan paduan yang menarik: bahwa prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle) tidak selalu diterapkan secara konsisten. Bahkan ada negara yang memiliki pendekatan formulary approtionment dalam rezim transfer pricing-nya, seperti di Brazil.
Cakupan yang beragam tersebut juga menggambarkan berbagai variasi aspek prosedur kepatuhan dalam konteks transfer pricing, mulai dari dokumentasi, pemeriksaan, secondary adjustment, hingga sanksi.
Tidak hanya itu, terdapat 46 kontributor mumpuni yang terlibat. Untuk bab mengenai Indonesia, ditulis oleh dua pakar transfer pricing dari DDTC: Romi Irawan dan Untoro Sejati. Keduanya bersanding dengan nama-nama besar lainnya, seperti: Mukesh Butani (India), Bas de Mik (Belanda), dan sebagainya. Singkatnya, profil para penulis telah menjelaskan kualitas dan kedalaman buku ini.
Kedua, penyajian. Buku ini menyajikan perbandingan secara seragam aspek kebijakan dan administrasi ketentuan transfer pricing: gambaran ketentuan, dokumentasi dan pelaporan, pemeriksaan, isu atas aset tidak berwujud, hingga implikasi pajak lain yang terkait. Walau isu transfer pricing sangatlah penting, sayangnya tidak banyak literatur yang bisa memberikan gambaran ketentuan transfer pricing di berbagai negara secara seragam.
Terakhir, buku ini memberikan tiga prediksi area transfer pricing ke depan. Pertama, penerapan pertukaran laporan per negara (country by country reporting) dan potensi meningkatnya sengketa transfer pricing. Hal ini juga akan diikuti dengan adanya pendekatan melihat perusahaan multinasional secara menyeluruh berdasarkan value chain.
Kedua, prospek sektor transfer pricing global setelah adanya reformasi pajak di Amerika Serikat terutama dengan adanya ketentuan mengenai Global Intangible Low Tax Income (GILTI) dan bagaimana hal tersebut bisa berbenturan dengan konsep Development, Enhancement, Maintenance, Protection and Exploitation (DEMPE) yang dianjurkan oleh OECD. Ketiga, perkembangan mengenai ketentuan transfer pricing dan kaitannya dengan bisnis ekonomi digital.
Sebagai penutup, buku ini sangat berguna tidak hanya bagi praktisi, dunia usaha dan akademisi, namun juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai perbandingan ketentuan transfer pricing di berbagai negara bisa dijadikan suatu benchmark bagi desain ketentuan di Indonesia.
Tertarik membaca buku ini? Anda bisa berkunjung ke DDTC Library.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.