PADA Februari 2019, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis sebuah dokumen konsultasi publik berjudul ‘Addressing the Tax Challenges of the Digitalisation of the Economy’.
Dokumen ini disusun dengan melibatkan 127 negara anggota Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Inclusive Framework dan merupakan tindak lanjut dari proyek BEPS Rencana Aksi 1 untuk mengatasi berbagai tantangan dalam pemajakan ekonomi digital.
Pada Mei 2019, OECD kembali merilis ‘Programme of Work to Develop a Consensus Solution to the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy’. Dokumen ini mengidentifikasi lebih lanjut isu yang terdapat dalam dokumen konsultasi publik yang dirilis sebelumnya.
Laporan tersebut berisi rencana kerja sepanjang tahun 2019 untuk memberikan solusi jangka panjang atas berbagai isu dalam pemajakan ekonomi digital yang diharapkan dapat dirilis pada awal tahun 2020.
Salah satu isu yang ditekankan dalam dokumen konsultasi publik tersebut ialah terkait dengan pengalokasian laba grup perusahaan multinasional (Multinational Enterprise/MNE), yaitu aplikasi metode profit split (PSM).
Berdasarkan metode ini, laba keseluruhan dari satu grup akan diidentifikasi untuk didistribusikan kepada masing-masing pihak afiliasi yang saling bertransaksi. Atribusi laba ini diterapkan berdasarkan basis ekonomi yang valid dengan estimasi atribusi laba antara pihak independen (Taxmann's, 2012)
Dasar Alokasi Laba
OECD lalu memberikan alternatif metode pembagian laba untuk mengakomodasi perubahan model bisnis dalam ekonomi digital. Metode alternatif tersebut ialah metode fractional apportionment (FA). PSM dan metode FA adalah model pembagian laba yang sama. Namun, perbedaannya terletak pada dasar alokasi yang ditentukan (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2013).
PSM membagi laba dengan melihat kepada laba grup usaha secara global kemudian atas laba keseluruhan tersebut dialokasikan berdasarkan fungsi rutin dan nonrutin. Sementara itu, metode FA melihat kepada laba grup usaha secara global lalu dibagi dengan menggunakan formula tanpa perbedaan antara laba rutin dan nonrutin.
Dalam ekonomi digital, fokus utama metode FA lebih menekankan pada pembagian laba usaha kepada yurisdiksi yang mencerminkan value creation sepanjang pasar berada (market jurisdictions) tanpa melihat adanya entitas yang berdiri secara legal.
Implementasi metode FA dalam ekonomi digital tidak melihat kewajiban adanya keberadaan fisik seperti Bentuk Usaha Tetap (BUT) atas suatu entitas dalam grup usaha. Dalam ekonomi digital, sepanjang suatu yurisdiksi merupakan market jurisdictions untuk grup usaha, sudah sewajarnya yurisdiksi tersebut mendapatkan hak atas pemajakan bagian laba dari grup usaha.
Market jurisdictions, user participation, dan significant economic presence (SEP) merupakan proposal yang ditelaah dalam The Programme of Work dalam mengembangkan solusi berbasis konsensus guna memperluas hak pemajakan negara pasar/user tempat nilai dianggap diciptakan dalam negara tersebut.
Keberadaan fisik pada suatu negara sebagai salah satu syarat utama terbentuknya BUT/permanent establishment dianggap tidak sesuai dalam ekonomi digital. Karena itu, OECD menghadirkan kembali metode FA yang menjadi salah satu pendekatan yang mungkin dapat digunakan dalam menilai laba yang diperoleh perusahaan subjek pajak luar negeri dengan memperhitungkan keseluruhan profitabilitas grup usaha dalam ekonomi digital.
Implementasi Metode FA
DALAM melakukan implementasi metode FA, terdapat tiga langkah yang perlu dilakukan, yaitu (i) menentukan pembagian jumlah laba, (ii) memilih allocation key, dan (iii) menerapkan formula untuk mengalokasikan sebagian dari laba ke pihak tempat terbentuknya market jurisdictions (OECD, 2019). Allocation key yang akan ditentukan dapat mempertimbangkan faktor seperti penjualan, pengguna, aset, dan karyawan.
Salah satu negara yang telah mempertimbangkan metode FA adalah India. India memperkenalkan konsep SEP melalui Indian Finance Act 2018. India memungut pajak atas perusahaan transnasional (TNC) digital yang tidak memiliki kehadiran fisik di India dengan merujuk pada dua syarat yang ditentukan sebagai acuan dalam menentukan batasan alternatif, yaitu atas jumlah pengguna dan jumlah pendapatan yang dihasilkan di India.
Apabila syarat yang ditentukan ini terpenuhi, India akan menegaskan haknya untuk mengenakan pajak TNC digital bahkan di tempat yang tidak memenuhi pengujian keberadaan fisik tradisional yang disyaratkan dalam konsep BUT.
Setelah menetapkan TNC digital berkontribusi cukup besar atas pajak di India, pertanyaan besar berikutnya adalah penentuan jumlah laba yang harus dikenakan pajak. Komite Pemerintah India meninjau isu ini dalam sebuah laporan pada April 2019. Laporan ini mengusulkan metode FA yang akan berlaku jika TNC tidak memiliki entitas terpisah atau hanya tercatat sebagai cabang di India.
Metode FA yang diterapkan oleh India ini berangkat dari laba yang diperoleh dari India, bukan laba global TNC. Laba India diperoleh dengan mengalikan pendapatan TNC India dengan margin laba operasi globalnya.
Sebagai contoh, apabila TNC menghasilkan pendapatan dari India Rs.500 juta dari penjualan iklan dan margin laba globalnya 5%, laba yang dianggap dari penjualan India adalah Rs.25 juta. Jika TNC yang sama menimbulkan kerugian di tingkat global, margin global dianggap 2% dan laba India Rs.10 juta.
Lebih lanjut, langkah terakhir adalah membagi laba antara India dan negara-negara lain yang berperan dalam menghasilkan laba TNC. Untuk melakukannya, formula berdasarkan empat allocation key digunakan, yaitu terkait dengan penjualan, pengguna, aset, dan karyawan.
Formula ini dirancang untuk memperhitungkan kontribusi kegiatan dari sisi penawaran, yaitu mulai dari penelitian dan pengembangan serta aktivitas dari sisi permintaan, seperti pemasaran dan penjualan.
Metode FA dianggap sesuai sebagai metode untuk mengatribusi laba yang hanya digunakan dalam kasus operasi cabang TNC atau yang tidak berbadan hukum. Apabila TNC memiliki anak perusahaan di India, atribusi laba akan diatur oleh prinsip entitas tunggal dan aturan penetapan harga yang berlaku.
Pengimpor Modal
SECARA keseluruhan, rekomendasi pada atribusi laba untuk BUT tampaknya mempertimbangkan kebutuhan India sebagai negara pengimpor modal dan berusaha mengembangkan konfigurasi baru prinsip sumber untuk keuntungan pajak yang berasal dari market jurisdictions.
Namun, penyesuaian dan modifikasi masih perlu dipertimbangkan dalam rekomendasi untuk lebih menyelaraskan hasil dengan prinsip-prinsip pajak internasional yang muncul dari pedoman OECD pada atribusi BUT serta OECD Transfer Pricing Guidelines.
Metode FA merupakan sebuah modifikasi model pengalokasian laba yang dirasa dapat menjawab isu pemajakan ekonomi digital dengan turut mempertimbangkan perkembangan berbagai model bisnis digital yang ada saat ini.
Selanjutnya, terdapat dua model alokasi hak pemajakan lain di era digitalisasi ini, yakni modified residual profit split method dan distribution-based approach. Bersama metode FA, ketiga model ini merupakan alternatif model pengalokasian laba yang digagas OECD dalam menjawab isu ekonomi digital.
Indonesia sendiri memiliki dua pilihan, menunggu konsensus global atau segera meninjau metode pengalokasian laba mana yang paling tepat diimplementasikan. Tentu diperlukan tinjauan lebih lanjut yang komprehensif sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan perpajakan ekonomi digital di Indonesia.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.