Yesa Amanda Putri
,KEBIJAKAN fiskal countercyclical pada masa pandemi Covid-19 membutuhkan dukungan pendapatan negara yang besar. Besarnya kebutuhan anggaran belanja untuk percepatan pemulihan ekonomi telah memacu pemerintah untuk menggali sumber pendanaan untuk menyehatkan APBN.
Pajak masih menjadi sumber utama penerimaan negara. Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak pada semester I/2021 sudah membaik karena mencapai Rp557,8 triliun atau tumbuh 4,9%. Namun, upaya peningkatan masih harus dilakukan.
Implementasi reformasi pajak dirasa mampu mengoptimalkan penerimaan pajak pada saat ini. Salah satu langkah yang diambil adalah menciptakan sumber penerimaan negara baik melalui penambahan objek maupun subjek pajak baru.
Kendati demikian, pemerintah tetap harus ekstra hati-hati saat menerapkan suatu kebijakan. Jika gegabah, bukannya memperbaiki perekonomian, kebijakan tersebut justru dapat memengaruhi kestabilan ekonomi yang sudah dibangun.
Berangkat dari permasalahan tersebut, kita bisa melirik salah satu pajak yang baru diterapkan pemerintah Jepang pada 2019 yakni Sayonara Tax atau Pajak Sayonara. Pajak ini dikenakan pada setiap wisatawan, baik mancanegara maupun domestik, yang meninggalkan Negeri Sakura dengan ketentuan usia di atas 2 tahun dan menetap lebih dari 24 jam.
Tarif Pajak Sayonara adalah sebesar ¥1.000 atau setara dengan Rp126.500 (kurs Rp126,5/yen). Mekanisme pemungutannya dengan menambahkan komponen Pajak Sayonara pada harga tiket pesawat atau kapal laut yang meninggalkan Jepang.
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah Jepang ingin mencari tambahan penerimaan negara untuk perbaikan serta perawatan sarana dan prasarana sektor pariwisata. Pertanyaannya, apakah sekarang juga menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan serupa?
Meskipun tidak terdengar adanya usulan dari pemerintah Indonesia, tidak ada salahnya kita menimbang sedikit potensi Pajak Sayonara apabila diimplementasikan di Tanah Air pada masa pandemi Covid-19.
Implementasi Pajak Sayonara ini sangat erat kaitannya dengan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno sendiri mengungkapkan pariwisata merupakan salah satu sektor yang paling parah terdampak pandemi.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penurunan kontribusi pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB). Merosotnya jumlah pendatang menjadi penyebab utama. Kunjungan wisatawan mancanegara turun 75% pada tahun lalu. Sekitar 34 juta pelaku usaha pariwisata terdampak Covid-19.
Banyak strategi yang sudah dilakukan untuk memulihkan sektor ini. Namun, kebanyakan dari strategi itu berupa bantuan likuiditas usaha, hibah, relaksasi fiskal, dan pemanfaatan program Pemulihan Ekonomi Nasioanal (PEN) yang sifatnya menguras kantong negara.
Di sisi lain, aspek yang diperlukan di sini adalah pemulihan ekonomi dengan meningkatkan penerimaan dari sektor pariwisata selain mengandalkan devisa. Solusinya adalah pajak keberangkatan atau Pajak Sayonara.
Selain sebagai sumber baru penerimaan pajak, Pajak Sayonara juga menjadi bagian dari cara untuk memperbesar kontribusi dari sektor pariwisata terhadap PDB. Penerimaan pajak ini bisa digunakan untuk mengoptimalkan sisi penawaran, seperti pembangunan infrastruktur serta kemudahan akses dan transportasi.
Selain itu, penerimaan dari Pajak Sayonara juga penting untuk meningkatkan standar kesehatan, keamanan, dan kenyamanan sektor pariwisata. Hal ini akan menambah kepercayaan wisatawan untuk berkunjung ke berbagai wilayah di Indonesia.
Bagaimanapun, tiap pulau di Indonesia memiliki banyak destinasi wisata yang bagus untuk dikunjungi. Potensi peningkatan jumlah pengunjung nantinya akan berbanding lurus dengan penambahan devisa serta pajak keberangkatan.
Penurunan Jumlah Kunjungan
TIDAK dipungkiri, pada saat ini, jumlah kunjungan ataupun keberangkatan internasional di sejumlah bandara dan pelabuhan mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan penerapan lockdown di beberapa negara yang juga diberlakukan pada sejumlah daerah di Indonesia. Lalu, apakah penerapan kebijakan serupa dengan Pajak Sayonara ini dapat memperburuk keadaan?
Jika dianalisis lebih jauh, pengenaan pajak ini dapat mengurangi jumlah keberangkatan maupun jumlah kunjungan. Namun, hal tersebut selaras dengan program pemerintah sekarang, yaitu membatasi kegiatan imigrasi dan emigrasi.
Penerapan kebijakan pajak ini juga berpeluang dapat mengatasi fenomena eksodus yang kini sedang marak dibicarakan. Dengan alasan-alasan tersebut, pemerintah dapat dengan mudah memperoleh dukungan dari masyarakat.
Penurunan jumlah kunjungan atau keberangkatan merupakan realitas yang harus diterima sektor periwisata pada saat ini. Namun, pemerintah tidak boleh berkecil hati karena kondisi ini justru mendatangkan peluang besar untuk penerapan kebijakan Pajak Sayonara.
Penerapan pajak ini berada di posisi paling aman karena dampak dari implementasi Pajak Sayonara pada masa pandemi bisa dikatakan tidak terlalu besar (low risk). Hal tersebut membuka ruang yang lebar untuk pengenaan kebijakan baru di Indonesia.
Ketika berbagai upaya pemerintah dalam penanganan kesehatan dan perekonomian membuahkan hasil yang baik, jumlah kunjungan dan keberangkatan juga diperkirakan bisa segera meningkat. Dengan demikian, penerimaan Pajak Sayonara ini dapat dioptimalkan.
Bagaimanapun, peningkatan penerimaan pajak melalui sumber baru yang potensial mampu mempercepat terlaksananya pemulihan ekonomi nasional. Pengenalan Pajak Sayonara pada masa pandemi merupakan momentum yang tepat.
Selain akan menambah kontribusi dari sektor pariwisata terhadap PDB, penerapan Pajak Sayonara juga selaras dengan kebijakan lain yang dijalankan pemerintah. Dampak negatif yang ditimbulkan sangat kecil tetapi return yang dihasilkan bisa sangat besar.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Cocok nih diimplementasikan di Indonesia
Baguss. Kebijakan seperti ini tidak begitu memberatkan masyarakat, ditambah tujuannya untuk meningkatkan sektor pariwisata Indonesia, pasti akan dapat banyak dukungan. Bagus2
Tulisan yang Menarik... Perlu ditimbang juga jgn sampai adanya jenis pajak baru justru mengurungkan niat wisatawan datang,