ASET orang-orang terkaya di Indonesia kian meningkat nilainya dari tahun ke tahun. Kendati demikian, kontribusi konglomerat dalam negeri masih minim terhadap penerimaan pajak nasional. Padahal, kekayaan bisa jadi adalah akumulasi dari penghasilan yang tidak dikonsumsi.
Fenomena ini juga terjadi di hampir semua negara di dunia. Untuk itu, banyak negara yang menerapkan pajak atas kekayaan, seperti pajak properti, pajak warisan, dan pajak atas keuntungan pengalihan aset atau disebut dengan capital gains tax.
Di Indonesia sendiri pada dasarnya tidak menerapkan pajak atas kekayaan. Pajak properti seperti pajak bumi dan bangunan (PBB) pun dipungut oleh pemerintah daerah dan tidak ada pajak atas warisan. Sementara capital gains tax tidak diterapkan secara menyeluruh.
Dalam sistem perpajakan Indonesia, kenaikan nilai aset baru dipajaki apabila aset tersebut dialihkan dan pengenaannya bersifat final serta dikenakan atas nilai akhirnya saja, tidak dihitung berdasarkan selisih nilai perolehan aset dan nilai jualnya. Sistem tersebut berbeda dengan konsep capital gains tax yang diterapkan di berbagai negara.
Lantas, apa itu capital gains tax dan bagaimana penerapannya?
Secara istilah, capital gains tax sendiri merupakan pajak yang dikenakan atas keuntungan (gains) pengalihan aset, seperti saham dan properti. Meskipun sudah banyak negara yang menerapkan capital gains tax, bagaimana menentukan desain kebijakan yang tepat untuk menerapkan capital gains tax masih jadi perdebatan.
Hal itulah yang dibahas secara komprehensif oleh Michael Littlewood dan Craig Elliffe dalam bukunya yang berjudul ‘Capital Gains Taxation: A Comparative Analysis of Key Issues’ yang diterbitkan Edward Elgar Publishing di Inggris pada 2017.
Buku ini terdiri dari 12 Bab yang ditulis oleh 14 kontributor. Tiga bab pertama diawali dengan ulasan mengenai apa itu capital gains tax dan isu-isu yang menjadi persoalan, serta aspek internasional capital gains tax.
Kemudian, bab-bab selanjutnya mengulas penerapan capital gains tax dari 9 negara yaitu Australia, Kanada, China, India, Belanda, Selandia Baru, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat. Dalam setiap bab, penulis menyajikan konklusi atau pelajaran apa yang bisa diambil dari setiap negara dalam mendesain pajak tersebut, baik dari sisi keunggulan maupun kelemahannya.
Terdapat beberapa isu penerapan capital gains tax yang perlu dicermati dalam buku ini. Pertama, sistem penerapan. Di banyak negara, capital gains tax menjadi bagian dari pajak penghasilan (PPh), seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, Australia, Kanada, Afrika Selatan, India, dan Belanda.
Di negara-negara tersebut, capital gains dikenakan PPh dengan ketentuan dan sistem pengenaan pajak yang tentunya berbeda satu sama lain. Sementara di Inggris, capital gains tax menjadi pajak tersendiri (separated tax), bukan sebagai bagian dari PPh.
Kendati demikian, buku ini menegaskan, perbedaannya hanya terlihat dari formalitas, bukan kepada substansi. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara capital gains tax diterapkan secara terpisah atau masuk dalam PPh. Justru, pengenaan pajak secara terpisah dianggap tidak memberikan ‘keuntungan’ apapun bagi pemerintah.
Kedua, metode pengakuan nilai keuntungan secara realisasi atau akrual. Saat ini, pengakuan keuntungan aset masih berdasarkan nilai realisasi. Artinya, keuntungan tersebut baru dipajaki jika telah dijual. Sementara dalam metode akrual, kenaikan nilai setiap tahun tetap diperhitungkan sebagai basis pengenaan pajak walaupun aset itu tidak dialihkan.
Metode akrual ini didukung dengan berbagai argumen, di antaranya metode ini dapat mengurangi ‘lock-in effect’ di mana pemilik aset berupaya untuk menahan aset tersebut agar tidak dijual dan akhirnya tidak kena pajak. Namun, metode ini masih sulit untuk diterapkan.
Ketiga, tarif capital gains tax. Sebagian besar negara yang menerapkan tarif pajak yang lebih rendah untuk capital gains dibandingkan dengan penghasilan pada umumnya, seperti yang diterapkan di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan.
Pembedaan tarif atas capital gains dan penghasilan lain sebetulnya dapat memberikan insentif bagi pemilik aset. Namun, di sisi lain, dapat mendorong wajib pajak untuk mengalihkan penghasilannya ke dalam bentuk aset, sehingga dapat dikenakan pajak yang lebih rendah. Berdasarkan hasil survei, penetapan tarif ini bersifat politis dan sangat bergantung pada pemangku kekuasaan.
Keempat, pengelompokan aset. Aset-aset utama yang dikenai capital gains tax biasanya adalah tanah, bangunan, saham dan sekuritas sejenis. Capital gains tax atas aset-aset tersebut memiliki kontribusi penerimaan yang besar.
Khusus untuk di Amerika Serikat, peran capital gains tax atas saham lebih besar dibanding aset lain. Sebagaiman diketahui, negeri Paman Sam tersebut memiliki pasar saham yang besar. Sementara di Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Afrika Selatan, capital gains tax atas pengalihan tanah dan bangunan lebih berkontribusi besar.
Adapun China membedakan antara saham yang terdaftar di dua bursa efek besar (Shanghai dan Shenzen) dan yang tidak terdaftar di keduanya. Saham yang tidak terdaftar di bursa efek dikenai pajak, sementara yang terdaftar dibebaskan dari pajak. Hal serupa juga diterapkan oleh India.
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa setiap negara perlu mengidentifikasi aset mana yang berpotensi besar untuk dikenakan capital gains tax. Pajak ini dapat menjadi salah satu kebijakan pajak yang perlu dipertimbangkan untuk memajaki ‘kekayaan turun-temurun’ orang kaya sekaligus mengurangi ketimpangan ekonomi dan sosial.
Bila dibandingkan antara ketentuan pajak pengalihan aset yang diatur dalam PPh Final Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang PPh, capital gains tax dapat menjadi alternatif kebijakan yang lebih adil. Berdasarkan aturan tersebut, pengalihan aset misalnya berupa tanah dan bangunan dikenakan tarif final atas nilai jual bruto.
Sementara, dalam capital gains tax, pajak hanya dikenakan atas keuntungan atau selisih nilai jual aset dan nilai perolehan aset tersebut. Dengan demikian, pengenaan pajaknya dianggap lebih memenenuhi asas keadilan dan sesuai dengan kemampuan membayar (ability to pay) wajib pajak.
Sebagai penutup, buku ini sangat berguna tidak hanya bagi praktisi dan akademisi, namun juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai perbandingan ketentuan capital gains tax di berbagai negara bisa dijadikan suatu benchmark bagi desain ketentuan di Indonesia.
Tertarik membaca buku ini? Anda bisa berkunjung ke DDTC Library.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.