ANALISIS TRANSFER PRICING

Menilik Kasus IKEA dari Kacamata OECD Transfer Pricing Guidelines

Kamis, 26 September 2019 | 14:15 WIB
Menilik Kasus IKEA dari Kacamata OECD Transfer Pricing Guidelines

Tami Putri Pungkasan,
DDTC Consulting

BOCORNYA ratusan surat penegasan (tax ruling) yang diterbitkan otoritas pajak Luksemburg pada 2014 telah memicu investigasi Komisi Eropa atas tax ruling yang diterbitkan sejumlah negara Eropa. IKEA menjadi salah satu nama besar yang ikut terseret dalam investigasi Komisi Eropa tersebut.

Pada Maret 2018, Komisi Eropa memublikasikan keputusan awal (opening decision) investigasi eksistensi bantuan negara (state aid) dari kesepakatan harga transfer atau Advance Pricing Agreement (APA), antara Pemerintah Belanda dan IKEA pada 2006 dan 2011.

Pada 2006, Inter IKEA Systems BV (Systems) dan Pemerintah Belanda menyepakati nilai royalti lisensi aset tidak berwujud (intangible property/IP) dari I.I. Holding S.A., subjek pajak Luksemburg, kepada Systems. IP ini mencakup merek dagang, know-how, dan formula terkait dengan bisnis IKEA (PR IKEA). APA 2011 mencakup kesepakatan pengalihan PR IKEA kepada Systems.

Keputusan awal Komisi Eropa disusun menggunakan prinsip persamaan perlakuan pajak dalam Pasal 107 (1) Treaty on the Functioning of The European Union (Gormsen, 2019). Artikel ini membahas APA Systems dengan Pemerintah Belanda tahun 2006 (APA 2006) melalui pendekatan OECD Transfer Pricing Guidelines (OECD TPG) 2017, dan tidak membahas eksistensi state aid APA 2006 tersebut.

Systems merupakan anggota grup Inter IKEA dan pemilik waralaba (franchisor) IKEA. Systems membayar royalti 70% penghasilan waralaba Systems kepada Holding untuk mendapatkan hak eksploitasi PR IKEA.

PR IKEA digunakan Systems untuk mengembangkan konsep unik pemasaran dan retail terkait dengan penjualan furnitur (Konsep IKEA). Konsep ini dimiliki oleh Systems dan dilisensikan (franchised) kepada toko-toko IKEA (franchisee) di seluruh dunia.

Sesuai dengan APA 2006, nilai royalti dianggap wajar apabila margin operasi Systems 5%. Apabila melebihi 5%, kelebihan tersebut dianggap sebagai kontribusi modal Holding pada Systems dan tidak dipajaki. Dengan demikian, APA 2006 mengalokasikan seluruh penghasilan waralaba (franchise) IKEA kepada Holding sebagai pemilik legal PR IKEA.

Sebelumnya, perlu diperhatikan penghasilan waralaba IKEA merupakan imbalan dari lisensi Konsep IKEA. Konsep IKEA yang tidak bisa terbentuk tanpa PR IKEA tidak mengubah fakta franchisee membayar royalti untuk eksploitasi Konsep IKEA, bukan PR IKEA. Jadi, penghasilan waralaba IKEA seharusnya diatribusikan sebagai penghasilan eksploitasi Konsep IKEA.

Konsep DEMPE
SELANJUTNYA, untuk mengetahui pihak yang berhak menerima penghasilan dari eksploitasi suatu IP, OECD memperkenalkan konsep DEMPE (Development, Enhancement, Maintenance, Protection and Exploitation) dalam OECD TPG 2017.

Berdasarkan konsep DEMPE, pihak yang berhak menerima penghasilan eksploitasi suatu IP adalah pihak yang melakukan fungsi, menggunakan aset, dan menanggung risiko terkait dengan aktivitas pengembangan (development), peningkatan (enhancement), pemeliharaan (maintenance), proteksi (protection), dan eksploitasi (exploitation) IP tersebut. Sesuai dengan konsep ini, ada beberapa analisis fakta untuk menentukan pihak yang berhak menerima penghasilan dari eksploitasi konsep IKEA.

Pertama, Systems mengembangkan Konsep IKEA sejak 1983. Systems menggunakan aset berupa PR IKEA untuk melakukan pengembangan. Systems juga tidak mendapatkan bantuan atau membutuhkan otorisasi dari Holding dalam proses pengembangan Konsep IKEA. Oleh karena itu, Systems merupakan pihak yang melakukan pengembangan Konsep IKEA.

Kedua, Systems melakukan riset pasar dan eksperimen untuk mengembangkan Konsep IKEA, antara lain desain, produk, dan tata toko. Systems memiliki kewenangan menentukan peningkatan Konsep IKEA dan perubahannya. Dengan demikian, Systems merupakan pihak yang melakukan peningkatan Konsep IKEA.

Ketiga, Systems memberikan pelatihan dan mengawasi implementasi Konsep IKEA pada franchisee. Systems mendokumentasikan Konsep IKEA dalam bentuk panduan bagi franchisee dan katalog IKEA. Selain itu, Systems berkoordinasi dengan pemasok untuk memastikan kualitas produk IKEA. Jadi, Systems merupakan pihak yang melakukan pemeliharaan Konsep IKEA.

Keempat, Systems merupakan pemilik legal dari Konsep IKEA. Systems melakukan langkah proteksi terhadap Konsep IKEA, seperti mendaftarkan Konsep IKEA sebagai IP. Oleh karena itu, Systems merupakan pihak yang melakukan proteksi Konsep IKEA.

Kelima, Systems berwenang memberikan lisensi Konsep IKEA (membuat kontrak waralaba/franchise). Systems melakukan penilaian atas calon franchisee dan bebas menentukan franchisee baru tanpa persetujuan Holding. Karena itu, Systems merupakan pihak yang melakukan eksploitasi Konsep IKEA.

Berdasarkan uraian di atas, Systems menjalankan fungsi, menggunakan aset, dan menanggung risiko terkait dengan aktivitas DEMPE Konsep IKEA. Terlepas dari PR IKEA yang menjadi bahan dasar, keterlibatan Holding pada Konsep IKEA sangat terbatas. Dengan demikian, pihak yang berhak menerima penghasilan eksploitasi Konsep IKEA atau penghasilan waralaba IKEA adalah Systems.

Selanjutnya, royalti atas PR IKEA yang dibayarkan Systems kepada Holding juga dianalisis menggunakan konsep DEMPE. Faktanya, Holding mendapatkan manfaat pembebasan pajak dari rezim khusus di Luksemburg. Suatu perusahaan dilarang melakukan aktivitas industri atau komersial atau turut serta dalam urusan perusahaan anak untuk mendapatkan manfaat dari rezim itu.

Sehubungan dengan fakta tersebut, Holding tidak menjalankan aktivitas DEMPE terkait dengan PR IKEA. Akibatnya, Holding tidak berhak mendapatkan royalti dari eksploitasi PR IKEA. Bahkan, terdapat kemungkinan Systems merupakan pihak yang menjalankan aktivitas DEMPE PR IKEA. Kemungkinan ini mempertimbangkan fakta bahwa lisensi Systems atas PR IKEA bersifat eksklusif.

Terlepas dari hak atas royalti, analisis kewajaran nilai royalti atas PR IKEA menjadi lebih kompleks mengingat PR IKEA merupakan bahan dasar Konsep IKEA (Lolliri, 2017). Namun demikian, kewajaran tarif royalti 70% dari penghasilan waralaba juga dapat diragukan. Hal ini mengingat PR IKEA tidak dapat dilisensikan kepada franchisee tanpa diolah lebih lanjut oleh Systems menjadi Konsep IKEA.

Berdasarkan pembahasan di atas, terlihat APA 2006 tidak sesuai dengan konsep DEMPE dalam OECD TPG 2017. APA 2006 hanya mengalokasikan imbalan tetap yang terbatas kepada Systems walaupun Systems memiliki peran yang signifikan atas IP IKEA.

Selain itu, terdapat indikasi pengalihan laba ke Luksemburg untuk mendapatkan manfaat pajak dari rezim di negara tersebut. Pemerintah Belanda pun dapat dianggap telah memfasilitasi penghindaran pajak ini melalui APA.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tahapan Pendahuluan untuk Transaksi Jasa dalam Penerapan PKKU

Minggu, 22 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Metode Penentuan Harga Transfer dan Karakteristik Transaksinya

Rabu, 18 Desember 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perlukah Aturan Transfer Pricing di Indonesia Mengadopsi Safe Harbour?

Selasa, 17 Desember 2024 | 11:15 WIB LITERATUR PAJAK

Sisa 3 Hari! Jangan Lewatkan Promo Spesial Akhir Tahun DDTC

BERITA PILIHAN