JAKARTA, DDTCNews - Rabu (26/10) pagi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti, Jakarta (FEB Usakti) menggelar seminar nasional yang mengangkat tema “Kupas Tuntas BEPS Action Plan dalam Rangka Memerangi Aggressive Tax Planning dan Melindungi Basis Pemajakan Indonesia”.
Menggantikan Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Jakarta Halim Alamsyah, Anggito Abimanyu memberikan keynote speech dalam acara ini. Menurutnya, perencanaan pajak (tax planning) dalam kerangka internasional kini sudah menjadi sesuatu yang tak lagi tabu.
Senada dengan Anggito, Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (DJP) John Hutagaol mengungkapkan ada dua hal yang menjadi fokus otoritas pajak di penjuru dunia ke depannya akibat aggressive tax planning yang dilakukan oleh perusahaan multinasional.
"Pertama, keterbukaan informasi keuangan secara global untuk tujuan perpajakan. Kedua, harmonisasi kebijakan perpajakan internasional," ujarnya di Jakarta.
John menambahkan perilaku agresif perusahaan multinasional inilah yang melatarbelakangi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan yang diwadahi oleh OECD/G20. Negara-negara anggota OECD/G20 pun sepakat untuk mengimplementasikan proyek BEPS ini.
"Pemerintah Indonesia sedang membenahi peraturan perundang-undangan domestik terkait perpajakan, perbankan, dan pasar modal. Ini salah satu bentuk komitmen kita ikut proyek BEPS," ungkapnya.
Menurut John, pemerintah Indonesia akan melakukan reformasi perpajakan, dengan program tax amnesty yang tengah bergulir sebagai jembatannya. Ditambah, kedatangan OECD Senin (24/10) lalu yang memberikan sejumlah rekomendasi pada pemerintah Indonesia agar memperbaiki sistem perpajakan.
Dalam acara yang sama, akademisi UI Ning Rahayu menceritakan beberapa gambaran mengenai skema aggressive tax planning yang biasa dilakukan oleh perusahaan multinasional seperti, transfer pricing, pemanfaatan tax haven country, dan penyalahgunaan perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty).
Lebih lanjut, pengamat pajak Darussalam mengatakan pemerintah perlu belajar dari kasus penghindaran pajak yang dilakukan oleh beberapa penyedia layanan internet (over-the-top/OTT). Tidak hanya DJP, tetapi DPR juga harus turun tangan dalam menjalankan beberapa strategi untuk menjaga basis pemajakan Indonesia.
"Untuk OTT, kita tidak perlu lagi menggunakan konsep bentuk usaha tetap (BUT) yang konvensional saat ini ada," katanya di kampus FEB Usakti.
Menurut Darussalam, suatu negara akan dapat memajaki OTT yang tidak memiliki BUT 'fisik', sepanjang volume transaksi banyak berasal dari negara tersebut, lalu jumlah pembayaran yang substansial dan kontrak yang signifikan juga ada di negara tersebut.
"Terkait dengan aggressive tax planning, perusahaan multinasional harus mengungkapkan skema yang akan mereka gunakan sebagaimana direkomendasikan dalam BEPS Action Plan nomor 12," tutupnya. (Gfa)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.