ANALISIS PAJAK

Mengkritisi Ambiguitas Double Non-Taxation

Kamis, 12 September 2019 | 10:01 WIB
Mengkritisi Ambiguitas Double Non-Taxation

Rahmat Muttaqin,
DDTC Consulting

KETIADAAN pemajakan atau double non-taxation (DNT) bukanlah istilah baru dalam perpajakan. DNT booming bersamaan dengan dirilisnya Rencana Aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), menyusul terkuaknya struktur pajak perusahaan multinasional seperti Apple, Amazon, dan McDonalds.

Komunitas pajak internasional secara umum bersikap skeptis terhadap DNT. Sikap ini berangkat dari gagasan bahwa penghasilan lintas batas yurisdiksi setidaknya harus dipajaki satu kali (single tax), tak lebih dan tak kurang (De Lillo, 2018).

Bagaimana tidak, salah satu tujuan dari prinsip single tax adalah untuk menghindari pajak berganda atau double taxation dan DNT (Shaviro dalam Parada, 2018). Pada sisi lain, DNT justru menghasilkan kondisi bahwa tidak adanya pemajakan dinilai tidak adil sebagaimana pajak berganda.

Prinsip single tax inilah yang menyebabkan ambiguitas atas konsep DNT itu sendiri, sehingga DNT diartikan sebagai hal yang bersifat ‘peyoratif’. Padahal, tidak serta merta DNT dapat langsung dianggap sebagai tujuan utama yang ingin dicapai wajib pajak.

Ada beberapa perspektif mengenai DNT. Pertama, DNT sebagai sisi kebalikan pajak berganda. Apabila pajak berganda terjadi akibat dua negara atau lebih menjalankan kedaulatan hak pemajakannya, DNT merupakan konsekuensi kondisi sebaliknya, yakni negara-negara tersebut tidak menarik pemajakan.

Sebagai contoh, negara domisili memilih mengecualikan penghasilan tertentu yang berasal dari luar yurisdiksinya sebagai objek pajak, dan negara sumber juga memilih tidak memajaki penghasilan yang dimaksud.

Kedua, DNT sebagai dampak yang dimaksudkan (intended) atau tidak (unintended). Perspektif ini mengaitkan DNT dengan maksud dan tujuan negara memajaki subjek atau objek tertentu. Transaksi lintas batas yurisdiksi dapat menghasilkan kondisi sesuai dengan maksud dan tujuan maupun tidak.

Contoh DNT sebagai dampak unintended dapat dihasilkan dari skema yang memanfaatkan perbedaan perlakukan pajak atas instrumen atau entitas dua negara atau lebih (Martinez Laguna, 2019). Skema ini yang ditelaah Rencana Aksi 2 BEPS tentang Menetralisir Efek dari Kesepakatan Hybrid Mismatch.

Ketiga, DNT sebagai dampak yang tidak diinginkan. Perspektif ini menilai DNT merupakan hal negatif, yang berasal dari P3B (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda), perbedaan perlakuan hukum domestik, atau kesalahan tidak dilaporkannya penghasilan pada yurisdiksi tertentu (Parada, 2018). Pandangan ini menitikberatkan pada tujuan wajib pajak untuk melakukan penghindaran atau penggelapan pajak.

Dalam konteks ini, DNT hanya merupakan efek karena wajib pajak secara sadar menghindari pembayaran pajak dengan menyembunyikan data dari otoritas pajak (Rohatgi, 2007). Penggelapan pajak merupakan tindakan ilegal. Namun dalam konteks DNT, efek yang ditimbulkannya tidak dapat menjadi dugaan awal wajib pajak melakukan penggelapan pajak.

Sementara itu, dalam konteks penghindaran pajak, hal tersebut lebih pada reaksi wajib pajak atas ketidaksempurnaan ketentuan pajak domestik yang dimanfaatkan untuk mengurangi beban pajak. Di sinilah letak peran ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat umum atau GAAR (General Anti-Avoidance Rule) dan yang bersifat spesifik atau SAAR (Specific Anti-Avoidance Rule).

Peran GAAR dan SAAR
DEWASA ini, berbagai skema BEPS yang berujung pada DNT makin kompleks dan seringkali tidak mampu diikuti negara dalam mengubah ketentuannya. Peran GAAR pun dirasa makin penting. GAAR menyasar pada suatu skema yang melibatkan suatu transaksi yang secara umum tidak akan dilakukan, selain hanya untuk alasan manfaat pajak bagi wajib pajak (Darussalam dan Kristiaji, 2017).

Sebagai contoh, Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD Model 2017 telah menyelipkan perubahan pada bagian preamble untuk membatasi ruang terjadinya DNT. Selain itu, OECD Model 2017 juga mengikutsertakan ketentuan principal purpose test (PPT).

Adapun gagasan tentang DNT tidak seharusnya secara otomatis dianggap sebagai permasalahan dalam konteks transaksi lintas batas yurisdiksi ataupun penyebab dari adanya penghindaran pajak dan penggelapan pajak (Parada, 2018).

Alasannya, DNT dapat disebabkan oleh berbagai hal. DNT dapat terjadi karena suatu negara memang ‘menginginkan’ tidak adanya suatu pemajakan atas subjek atau objek tertentu. Di sisi lain, DNT juga dapat dihasilkan dari struktur perencanaan pajak wajib pajak.

Pada dasarnya, DNT perlu untuk diartikan sebagai isu sederhana yang merupakan dampak dari adanya transaksi atau skema lintas batas yurisdiksi. Karena itu, DNT tidak dapat langsung diartikan sebagai hal yang negatif ataupun abusive.

Aspek kuncinya terletak pada kedaulatan negara, terlepas dari konsensus internasional atas suatu aspek pemajakan. Pemahaman otoritas pajak atas konsep DNT yang ambigu dapat menyebabkan desain pemajakan domestik yang tidak koheren, sehingga terciptalah ketidakpaduan antara satu negara dan negara lain mengenai konsep ini. Bahkan, bukan tidak mungkin ambiguitas dari DNT menyebabkan kondisi sebaliknya, yaitu pajak berganda.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 23 September 2024 | 17:43 WIB ANALISIS PAJAK

Paradoks Artificial Intelligence dalam Konteks Penghindaran Pajak

Selasa, 17 September 2024 | 17:11 WIB ANALISIS PAJAK

Adakah Isu Transfer Pricing atas Biaya Recharge Antarperusahaan?

Selasa, 17 September 2024 | 16:31 WIB ANALISIS PAJAK

Munculnya Significant Robot Function dalam Atribusi Penghasilan BUT

Jumat, 13 September 2024 | 16:27 WIB ANALISIS PAJAK

Mendorong Partisipasi Publik Nyata dalam Perumusan Kebijakan Pajak

BERITA PILIHAN