LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Menggagas Skema Pengenaan Pajak yang Lebih Adil

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 14 Agustus 2021 | 15:00 WIB
Menggagas Skema Pengenaan Pajak yang Lebih Adil

Zhafira Sekar Putri,
Jakarta Pusat, DKI Jakarta

RESESI ekonomi tidak terhindarkan. Kondisi tersebut menjadi salah satu dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19. Kontraksi ekonomi pada gilirannya memengaruhi indikator ekonomi sosial, salah satunya adalah ketimpangan.

Pada Maret 2021, ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan performa rasio gini pada periode tersebut tercatat sebesar 0,384. Nilai indeks tersebut mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan posisi pada Maret 2020 sebesar 0,381.

Dalam konteks tersebut, pajak dapat hadir karena memiliki fungsi redistribusi. Penerimaan pajak dapat didistribusikan untuk kesejahteraan masyarakat melalui penyerapan berbagai pos belanja dalam APBN.

Pemerintah juga tengah mengoptimalkan instrumen APBN untuk menjaga konsumsi masyarakat miskin dan rentan. Dengan demikian, laju peningkatan kemiskinan dapat ditahan. Momentum pertumbuhan ekonomi ke zona positif juga dapat dijaga.

Program penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) dikelompokkan ke dalam enam klaster, yakni perlindungan sosial, dukungan UMKM, belanja kementerian/lembaga (K/L) dan pemda, sektor kesehatan, pembiayaan korporasi, dan insentif usaha.

Berdasarkan pada klasterisasi tersebut, salah satu fokus pemerintah adalah sektor UMKM, termasuk melalui pemberian insentif usaha. Upaya ini dilakukan karena UMKM merupakan salah satu penggerak ekonomi Indonesia. Saat ini, UMKM juga terdampak pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Pemerintah memang diharapkan membuat berbagai upaya yang dapat menstimulus UMKM. Terdapat beberapa langkah yang dapat menjadi pilihan pada masa krisis ini. Salah satunya adalah memberlakukan kembali fasilitas pajak untuk UMKM dengan skema norma penghitungan penghasilan neto.

Berbeda dengan penghitungan tarif umum, penerapan PP 23/2018 membuat wajib pajak UMKM tetap harus membayar pajak meskipun mengalami kerugian ataupun keuntungan berdasarkan pada jumlah peredaran bruto dikalikan dengan tarif sebesar 0,5%.

Sebuah titik impas atas pajak penghasilan (PPh) yang terutang antara PP 23/2018 serta Pasal 17 dan 31E UU PPh adalah pada saat wajib pajak memiliki keuntungan neto sebesar 4% dari peredaran bruto (Zhafira, 2019).

UMKM yang memiliki keuntungan neto kurang dari 4% akan merasa tidak adil bila menerapkan penghitungan pajak 0,5% terhadap omzet. Sebaliknya, UMKM yang memiliki keuntungan neto lebih dari 4% akan merugi jika menggunakan tarif Pasal 17 dan 31E UU PPh. Kondisi ini dilematis bagi para pelaku UMKM karena tidak dapat memilih penerapan peraturan sesuai dengan kondisi usahanya.

Saat ini, wajib pajak UMKM sudah harus mempersiapkan diri agar dapat membayar pajak sesuai dengan skema tarif umum karena berakhirnya masa penggunaan PPh final PP 23/2018 pada tahun pajak 2020 untuk Perseroan Terbatas (PT) dan tahun pajak 2021 untuk koperasi, persekutuan Komanditer (CV) serta firma.

Artinya, UMKM akan dikenakan PPh badan sebesar 20% dengan fasilitas pengurangan PPh badan sebesar 50% (Pasal 31E UU PPh). Tentunya kondisi ini akan menambah beban UMKM karena perubahan tarif yang signifikan. Belum lagi jika fasilitas Pasal 31E UU PPh jadi dihapus melalui RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Oleh karena itu, diperlukan kebijakan baru yang memihak para pelaku UMKM. Tujuannya adalah pengenaan pajak tidak menghalangi perkembangan usaha UMKM. Kebijakan baru diharapkan mempertimbangkan biaya yang dapat mengurangi peredaran usaha.

Kebijakan yang bisa ditempuh adalah penggunaan norma penghitungan yang menjadi dasar perhitungan PPh badan. Selain itu, perlu ada penyesuaian tarif PPh badan yang lebih tepat dengan kondisi UMKM. Selain meringankan beban pajak terhadap, skema tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi UMKM dalam melaksanakan pembukuan.

Ketimpangan dan Keadilan

PEMERINTAH juga bisa menetapkan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) wajib pajak orang pribadi yang berbeda tiap daerah sesuai dengan besar upah minimum regional (UMR). Penyetaraan PTKP senilai Rp54 juta dengan tanggungan masing-masing Rp4,5 juta menjadi tidak adil karena tiap daerah memiliki perputaran ekonomi dan kemampuan pembelian yang berbeda.

Hal tersebut menjadi tidak sesuai dengan pembebanan pajak yang seharusnya mengedepankan equality. Sistem pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuanya.

Realitasnya, orang yang berbeda domisili dengan pendapatan yang sama tentunya memiliki pengeluaran yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyesuaian PTKP sehingga keadilan pajak tidak hanya terletak pada tarif progresif dan jumlah tanggungan, tapi juga memperhatikan biaya yang dikeluarkan masyarakat.

Terkait dengan upaya pengurangan ketimpangan dan penciptaan keadilan, salah satu kebijakan yang juga bisa diambil adalah pengenaan pajak terhadap wajib pajak berpenghasilan tinggi (high wealth individual/HWI).

World Wealth Report yang dirilis Capgemini (2019) menunjukkan peningkatan jumlah populasi orang kaya (HWI) di Indonesia pada 2018 sebanyak 129.000 orang. Jumlah ini naik dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 124.000 orang.

Berbagai negara pada umumnya mengenakan tarif PPh yang lebih besar bagi lapisan penghasilan kena pajak tertinggi. Dengan demikian, HWI diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan PPh.

Salah satu isu pemajakan terhadap HWI adalah perubahan lapisan (layer/bracket) penghasilan kena pajak dan PPh orang pribadi. World Bank dalam laporan Indonesia Economic Prospect mengusulkan penetapan lapisan PKP baru di atas 4 lapisan PKP yang saat ini berlaku.

Pemerintah sendiri sudah mengusulkan penambahan tarif pada lapisan penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar per tahun sebesar 35%. Pemerintah juga akan mengenakan skema PPN multitarif dan pemungutan PPN terhadap barang pokok premium. Skema PPN multitarif diperlukan untuk dapat menciptakan sistem yang lebih adil.

Langkah-langkah tersebut memang diperlukan untuk menyelesaikan masalah beban pajak yang memberatkan masyarakat kecil. Langkah itu juga akan mendukung tercapainya status Indonesia sebagai high income country dalam jangka panjang.

Hilangnya potensi penerimaan pajak akibat berbagai insentif pada masa pandemi perlu diimbangi dengan penerimaan pajak dari HWI. Harapannya, tercipta kolaborasi antarmasyarakat demi meningkatkan pendapatan negara serta kesejahteraan masyarakat.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

23 Agustus 2021 | 18:07 WIB

artikel yang sangat layak utk disebarluaskan ke masyarakat luas. kami yang notabenenya orang awam bisa sedikit2 memahami ttg perpajakan melalui artikel ini. terima kasih kepada penulis

16 Agustus 2021 | 08:50 WIB

saatnya melek pajak dan lebih aware dg pajak. karena pajak itu dr kita tuk kita

16 Agustus 2021 | 08:43 WIB

keren artikel ini, sepakat bgt dengan pendapatnya

15 Agustus 2021 | 21:42 WIB

sepakat bgt dgartikel ini

15 Agustus 2021 | 21:22 WIB

kereeeeeennn artikelnya ,bagus di publikasikan

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN