TAJUK

Meneropong Tantangan Sektor Pajak 2019

Redaksi DDTCNews | Jumat, 02 November 2018 | 14:35 WIB
Meneropong Tantangan Sektor Pajak 2019

Ilustrasi (DDTCNews)

Shortfall penerimaan pajak 2018 sudah di depan mata. Meski mencatat pertumbuhan yang menggembirakan, hingga akhir September realisasinya baru sekitar 63,3% dari target Rp1.424 triliun. Padahal, kontribusi kuartal terakhir selama 2013—2017 umumnya 25—28% dari target tahunan.

Dengan memperhatikan tren tersebut, realisasi penerimaan pajak hingga akhir 2018 diperkirakan kurang lebih berada di angka Rp1.300 triliun saja. Pemerintah dan DPR juga telah menyetujui target penerimaan pajak 2019 sebesar Rp1.574 triliun.

Akan tetapi, adanya ancaman shortfall 2018 sebesar kurang lebih Rp140 triliun, membuat target tersebut menjadi tidak mudah. Penerimaan pajak pada 2019 setidaknya harus bertumbuh sekitar 22%. Lantas, sejauh mana prospekpajak di 2019?

Baca Juga:
Coretax: Membangun Kebiasaan Baru dalam Mematuhi Kewajiban Perpajakan

Setidaknya terdapat dua tantangan utama yang akan berakibat bagi situasi pajak 2019. Pertama, situasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan masih belum stabil dan dibayangi perlambatan (IMF, 2018).

Perang dagang, proteksionisme, harga minyak dunia yang terus meningkat, serta pembalikan aliran modal (capital flight reversal) dari emerging economies, merupakan beberapa persoalan yang memberi tekanan pada ekonomi global.

Bagi Indonesia, dampak tekanan itu akan menguras energi dalam meracik kebijakan yang tepat. Beleid PPh impor, wacana revisi pajak atas instrumen keuangan, dan dampak melemahnya nilai tukar bagi kurs pajak, agaknya masih merupakan episode awal kerumitan yang akan dihadapi pemerintah.

Baca Juga:
Family Office: Rezim Baru, Jangan Buru-Buru

Tren bahwa sektor pajak akan menjadi ujung tombak resep mengatasi tekanan ekonomi diperkirakan terus berlanjut. Di tengah ketidakpastian itu, kerangka koordinasi internasional justru kurang solid. Perspektif inward-looking bahkan mendorong tiap negara merevisi kebijakan pajaknya untuk menciptakan daya saing. Dalam hal ini, reformasi pajak AS jadi salah satu pemicu.

Wacana penurunan tarif, perubahan menuju ke territorial tax system, hingga insentif pajak diperkirakan semakin intens dan menciptakan posisi dilematis bagi pemerintah. Padahal, menurut Toder (2012), desain kebijakan pajak untuk menciptakan daya saing harus terlebih dahulu dibenturkan dengan apa yang menjadi kepentingan nasional:Mendorong total output yang dihasilkan oleh warga negara Indonesia (produk nasional bruto) atau total outputseluruh agen ekonomi dalam yurisdiksi Indonesia (produk domestik bruto)?

Lebih lanjut lagi, godaan untuk terlibat dalam kompetisi pajak harus disikapi hati-hati karena justru bisa kontraproduktif, terutama bagi ekonomi di negara berkembang seperti halnya Indonesia (Shaxson dan Christensen, 2016). Singkatnya, kesalahan dalam memilih opsi untuk menjaga daya saing bisa semakin mendistorsi perilaku ekonomi dan menggerus basis pajak kita.

Baca Juga:
Sewindu Berlalu, DDTCNews Perkenalkan Wajah Baru

Kedua, situasi politik. Pada 2019 kita akan menyelenggarakan pemilu. Hajatan politik tersebut kerap dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai political budget cycles (Brender dan Drazen, 2008). Pada tahun politik, umumnya terjadi defisit anggaran yang meningkat karena adanya situasi belanja yang meningkat tetapi denganpenerimaan pajak yang cenderung stagnan (Ebelke dan Ocer, 2013).

Fenomena tersebut utamanya dilakukan oleh petahana yang berupaya meraih suara pemilih. Caranya bisa bermacam-macam, mulai dari pos anggaran baru, tidak adanya terobosan di bidang penerimaan, hingga subsidi melalui belanja pajak (tax expenditure). Adapun dari sisi non-petahana, isu pajak kerap dijadikan komoditas untuk menjual ide-ide yang ‘populis’, walau belum tentu rasional. Contoh saja di Malaysia.

Bagi Indonesia, siapapun pemimpin nasional yang akan terpilih harus memiliki strategi jitu untuk memobilisasi penerimaan secara adil, berkepastian, serta rasional. Dalam hal ini, suara masyarakat harus terwakili dan dijadikan pertimbangan bagi agenda reformasi pajak mendatang.*


Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 02 Desember 2024 | 08:00 WIB SURAT DARI KELAPA GADING

Coretax: Membangun Kebiasaan Baru dalam Mematuhi Kewajiban Perpajakan

Kamis, 11 Juli 2024 | 17:45 WIB TAJUK PAJAK

Family Office: Rezim Baru, Jangan Buru-Buru

Kamis, 20 Juni 2024 | 08:15 WIB SURAT DARI KELAPA GADING

Sewindu Berlalu, DDTCNews Perkenalkan Wajah Baru

Selasa, 04 Juni 2024 | 13:15 WIB TAJUK PAJAK

Badan Penerimaan Negara, Bukan Hanya Soal Pisah dari Kemenkeu

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?