PERSPEKTIF

Mendadak Transfer Pricing

Minggu, 12 Juni 2016 | 09:35 WIB
Mendadak Transfer Pricing
Danny Septriadi,
Senior Partner DDTC

TRANSFER pricing mendadak menjadi everybody’s business. Isu itu telah menjadi agenda yang didesakkan organisasi internasional seperti Organisation for Economic Cooperation (OECD) dan kelompok G-20 juga LSM-LSM internasional, untuk mendapat respons kebijakan dari otoritas pajak seluruh dunia.

Perkembangan ini tentu menggembirakan. Dinamika tersebut merefleksikan tumbuhnya kesadaran baru pada level internasional untuk saling bekerja sama menghadapi masalah perpajakan. Namun, paling tidak ada empat hal yang perlu dicermati sehubungan dengan semakin mengglobalnya isu transfer pricing ini.

Pertama, arus transfer pricing yang tak terbendung kerap tidak disertai pemahaman mengenai konsep dan aplikasinya. Akibatnya, perusahaan multinasional seringkali dipojokkan, dan publik lebih fokus pada dugaan kecurangan ketimbang menelaah persoalannya secara lebih jernih.

Misalnya, temuan Ditjen Pajak (DJP) yang menunjukkan lebih dari 5.000 perusahaan penanaman modal asing (PMA) mencatatkan kerugian selama bertahun-tahun. Apakah serta merta dapat menjadi indikasi adanya pengalihan laba melalui manipulasi transfer pricing? Belum tentu.

Terlebih dahulu harus ditinjau penyebab kerugian perusahaan tersebut. Ada kalanya aktivitas usaha tidak selalu memberikan return positif, misalkan pengaruh gejolak ekonomi, kesalahan proyeksi, atau memang menjadi bagian dari strategi bisnis yaitu menjual dengan harga murah untuk mendapatkan market share.

Di pasar terbuka biasanya pihak independen yang menderita rugi bertahun-tahun tidak akan bertahan lama. Jika memang tidak ada argumentasi bisnis yang bisa menjelaskan kerugian tersebut maka barulah terdapat kemungkinan kompensasi yang diterima PMA tersebut tidak sesuai dengan kontribusinya.

Kedua, prinsip kewajaran (arm’s length principle) dalam transfer pricing yang mensyaratkan adanya suatu transaksi atau perusahaan pembanding independen dalam kondisi sebanding. Pada praktiknya, prinsip ini hampir selalu menjadi pokok perdebatan.

Permasalahan kerap muncul karena wajib pajak (WP) kesulitan menemukan pembanding yang relevan. Sengketa transfer pricing, seringkali berujung perdebatan dengan basis yang sama-sama tidak kuat dan akhirnya menjadi ‘seni untuk meyakinkan’ semata.

Hubungan Istimewa

KETIGA, dalam rantai suplai global perusahaan multinasional yang semakin kompleks, intangibles menjadi fokus utama. Namun, dengan sifatnya yang sulit dinilai keberadaan dan manfaatnya, jelas menjadikan perdebatan mengenai nilai yang dianggap wajar menjadi wilayah yang bersifat arbitrary.

Karena itu, diperlukan pemahaman atas fakta bisnis, value chain perusahaan multinasional, sekaligus motivasi dan rasional ekonomi dari transaksi hubungan istimewa guna mengetahui sejauh mana motif penghindaran pajak mendominasi transaksi hubungan istimewa.

Selain itu, perlu digarisbawahi, sengketa transfer pricing bukanlah pertarungan antara negara dengan perusahaan multinasional (WP), tetapi negara dengan negara. Sebab sebenarnya, transfer pricing bermuara pada soal pembagian laba dari transaksi hubungan istimewa antarnegara.

Dengan demikian, tanpa adanya pendekatan bilateral, maka setiap otoritas pajak di dunia ini dapat saja secara sepihak (unilateral) menentukan besaran penghasilan dari transaksi hubungan istimewa yang seharusnya terkena pajak.

Keempat, 3 dari 15 proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang digagas OECD dan kelompok G20 membahas aspek kewajaran transaksi hubungan istimewa yang dikaitkan dengan bagaimana dan siapa yang berkontribusi atas penciptaan nilai suatu produk.

Aksi BEPS 13 juga memberikan pedoman perubahan dokumentasi transfer pricing terutama dengan format country by country reporting. Ini tentu perlu dicermati karena agenda ini menentukan arah perkembangan sekaligus penanganan pada area transfer pricing ke depan.

Tantangan Indonesia

TRANSFER pricing bukan ilmu pasti. Karena itu, perlu pendekatan yang berbasis aturan (rule based), bukan standar (standard based). Arm’s length principle adalah standard based yang cenderung menciptakan cost of compliance yang tinggi dan sarat perdebatan dalam menentukan apa yang disebut sebagai wajar.

Banyak negara kini menggunakan ketentuan berbasis aturan dalam analisis transfer pricing, contohnya safe harbour. Nilai kewajaran dalam safe harbour tidak lagi mengacu pada suatu pembanding, tapi pada rentang atau batasan harga atau margin yang ditetapkan pemerintah melalui perhitungan matang.

Di luar itu, mengingat sifatnya yang arbitrary, penyelesaian sengketa transfer pricing harus lebih cepat untuk memberikan kepastian hukum (justice delayed means justice denied). Sengketa berkepanjangan akan menghabiskan waktu dan biaya kedua pihak baik WP maupun otoritas pajak.

Untuk bisa menempatkan arena transfer pricing secara jernih dan proporsional, dibutuhkan peran aktif pemerintah dan kedalaman pemahaman terhadap dinamika regulasi global. Dengan cara itu diharapkan dapat tercipta iklim usaha yang kondusif, yang akhirnya juga akan berdampak positif terhadap penerimaan pajak.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tahapan Pendahuluan untuk Transaksi Jasa dalam Penerapan PKKU

Minggu, 22 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Metode Penentuan Harga Transfer dan Karakteristik Transaksinya

Rabu, 18 Desember 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perlukah Aturan Transfer Pricing di Indonesia Mengadopsi Safe Harbour?

Selasa, 17 Desember 2024 | 11:15 WIB LITERATUR PAJAK

Sisa 3 Hari! Jangan Lewatkan Promo Spesial Akhir Tahun DDTC

BERITA PILIHAN