Elam Sanurihim Ayatuna
,PADA 2024 mendatang, Indonesia menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak untuk memilih 38 gubernur, 415 bupati, dan 98 wali kota. Seperti pada pilkada-pilkada sebelumnya, para kandidat kepala daerah pastinya akan menyampaikan berbagai gagasan dan janji bila terpilih kelak.
Biasanya, gagasan dan janji tersebut berkutat pada program-program belanja daerah semata. Misalnya, pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, kenaikan tunjangan PNS, peningkatan taraf pendidikan, pembebasan biaya kesehatan, dan janji-janji lainnya.
Namun, terkadang janji dan program-program tersebut tidak kunjung terealisasi ketika 'sang terpilih' menjabat. Hanya saja, ada kalanya bukan kepala daerah yang enggan melaksanakan janji-janji tersebut. Masalahnya, bisa jadi lebih karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memang terbatas. Beberapa kepala daerah sering kali mengeluhkan APBD yang minim.
Selain minim, jumlah anggaran yang terbatas tersebut juga biasanya telah dialokasikan pada belanja-belanja rutin, semisal belanja pegawai. Karenanya, kepala daerah sukar merealisasikan janji programnya karena sempitnya ruang anggaran di luar belanja rutin.
Melihat fenomena tersebut, penting untuk calon kepala daerah agar tidak hanya menyiapkan program belanja, tetapi turut pula merencanakan peningkatan sumber pendapatan daerah.
Sumber pendapatan daerah secara garis besar dibagi atas dua kelompok, yakni pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk pendapatan transfer, alokasinya sangat bergantung pada kebijakan pemerintah pusat sehingga kepala daerah tidak terlalu dapat berperan dalam peningkatan sumber pendapatan ini. Sementara PAD terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lainnya.
Dari beberapa jenis PAD tersebut, sumber yang relatif paling banyak dan memungkinkan untuk ditingkatkan adalah pajak daerah. Maka dari itu, pembenahan pajak daerah dapat dipertimbangkan sebagai salah satu janji politik para calon kepala daerah.
Apalagi, selama ini pemungutan pajak daerah dirasa masih kurang maksimal. Seperti dalam penelitian Rafsanjani dan Agustina (2022) yang menunjukkan pemungutan pajak daerah provinsi di Indonesia masih rendah jika diukur berdasarkan upaya pajak (tax effort) dan kapasitas pemungutan pajak (tax capacity).
Hal serupa juga diindikasikan oleh hasil penelitian DDTC (Kristiaji, Vissaro, dan Ayumi, 2021) yang menunjukkan rata-rata upaya pajak (tax effort) di 113 kabupaten/kota di Pulau Jawa secara umum masih belum optimal dalam mencapai kapasitas pajaknya (taxable capacity).
Oleh karenanya, pembenahan pajak daerah seharusnya menjadi salah satu isu politik dan bahkan mestinya termaktub dalam janji calon kepala daerah. Sebabnya, tidak mungkin seorang kepala daerah dapat menyejahterakan rakyatnya apabila sumber pemasukan daerah terbatas. Rencana pembenahan pun sebaiknya sudah dalam bentuk reformasi pajak daerah. Dalam praktiknya, reformasi adalah formula yang pas dalam meningkatkan penerimaan pajak.
Fokus Reformasi Pajak Daerah
Pertanyaan selanjutnya, yakni reformasi seperti apa yang harus dijalankan? Jika bercermin pada reformasi pajak pusat, setidaknya ada tiga titik fokus yang perlu dilakukan pembenahan, yakni regulasi, proses bisnis, dan sumber daya manusia,
Pertama, reformasi regulasi pajak daerah. Sebenarnya, pembenahan regulasi pajak daerah sudah 'separuh jalan' melalui diundangkannya Undang-Undang 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Selanjutnya, pemerintah daerah dapat merumuskan aturan turunan UU HKPD berupa peraturan daerah (perda) yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing daerah. Pengaturan dalam perda dapat disesuaikan untuk meningkatkan pendapatan daerah, seperti melalui pengenaan tambahan pajak (opsen) atau pemberian insentif pajak yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Fokus kedua, yakni reformasi proses bisnis. Pemerintah daerah dapat meningkatkan basis data dengan pembenahan proses bisnis perpajakan melalui pemanfaatan teknologi informasi. Misalnya, beberapa daerah sudah menerapkan penggunaan cash register di mesin kasir restoran untuk mengawasi transaksi pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).
Penggunaan teknologi informasi dapat pula diimplementasikan dalam proses bisnis pelaporan dan pembayaran pajak. Seperti yang telah diterapkan di beberapa daerah, yakni kemudahan pelaporan dan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) melalui aplikasi dan marketplace.
Penggunaan teknologi informasi juga digunakan untuk pengumpulan dan pengolahan data, misalnya pertukaran data dengan instansi lain yang terkait atau pengumpulan informasi dari internet.
Fokus terakhir yang tak kalah penting, yakni reformasi sumber daya manusia (SDM). Regulasi dan proses bisnis tidak akan berjalan maksimal bila tidak diiringi SDM yang mumpuni. Sayangnya, kerap kali SDM pada otoritas pajak daerah (Bapenda atau BPKPAD) belum memiliki kompetensi spesialisasi perpajakan yang cukup.
SDM inti perpajakan seperti pemeriksa pajak, juru sita, penyidik, penilai, dan sebagainya juga sering kali belum tersedia. Ditambah, sering pula pegawai yang ditempatkan pada otoritas pajak daerah merupakan pegawai pindahan dari dinas atau badan daerah lainnya yang tidak terkait dengan perpajakan. Maka dari itu, penting sekali untuk meningkatkan kompetensi pajak para pegawai.
Selama ini, fungsi sekretariat pada otoritas pajak daerah baru sebatas melaksanakan administrasi kepegawaian, belum pada analisis kompetensi petugas pajak. Maka dari itu, kepala daerah perlu mendorong sekretariat untuk mengukur dan mengembangkan kompetensi SDM aparatur pajak daerah, sehingga bisa meningkatkan kinerja pengumpulan pajak daerah.
Reformasi ketiga hal tersebut dapat menjadi fokus kandidat kepala daerah dalam merencanakan dan menyusun janji program pemasukan dana daerah.
Dalam kontestasi pilkada ini, masyarakat yang memilih calon kepala daerah bisa diibaratkan sebagai sesosok gadis yang memilih pasangannya. Dari perspektif ini, tentunya masyarakat tidak hanya perlu janji-janji akan dibelanjakan apa saja nanti apabila kepala daerah terpilih.
Namun, masyarakat juga butuh tahu bagaimana cara kepala daerah mendapatkan uang untuk membiayai belanja-belanja tersebut. Oleh karenanya, reformasi pajak daerah seharusnya menjadi salah satu janji yang ada dalam adu gagasan pemilihan kepala daerah.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.