SEPERTI yang kita ketahui bersama, prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau dikenal dengan arm’s length principle (ALP) merupakan pendekatan dalam menganalisis transaksi afiliasi dengan melihat grup perusahaan sebagai entitas secara terpisah (separate entity).
Penerapan prinsip ALP ini didasarkan pada kondisi antara transaksi yang dilakukan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sebanding dengan kondisi transaksi dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa, yang diukur dengan sebuah rentang harga atau laba dari pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Prinsip ini merupakan konsensus internasional yang sudah diterapkan hampir seluruh negara di dunia terutama di negara-negara anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Namun dalam pengaplikasiannya, ALP menuai banyak kritikan. Durst (2012) menyatakan bahwa kasus-kasus sengketa mengenai transfer pricing justru mencerminkan kegagalan dari penerapan ALP itu sendiri.
Prinsip kesebandingan dalam konteks entitas yang terpisah tersebut telah memberikan kesulitan, baik kesulitan dalam mencari pembanding, continuum price problem, analisis yang subjektif, serta adanya potensi ketidakselarasan baik dengan perkembangan bisnis maupun dalam konteks struktur pasar yang berbeda (Kristiaji, 2013).
Perdebatan mengenai kelemahan ALP dalam menganalisis transaksi afiliasi sudah menjadi ‘topik panas’ dalam forum-forum akademis. Berbagai forum tersebut juga mendiskusikan mengenai alternatif pendekatan non-ALP yang dikenal dengan Global Formulary Apportionment (GFA).
GFA merupakan pendekatan yang memperlakukan transaksi afiliasi secara terintegrasi atau menyeluruh dengan memperlakukan transaksi afiliasi dengan basis yang terkonsolidasi. Pendekatan ini dapat diterapkan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki integrasi tinggi dengan tujuan untuk menentukan tingkat laba yang tepat antaryurisdiksi pemajakan.
Berdasarkan Paragraf 1.17 OECD Guidelines, terdapat tiga komponen penting dalam menerapkan pembagian GFA, yaitu menentukan unit yang akan dikenakan pajak, menentukan keuntungan global dengan akurat, dan menetapkan formula yang akan digunakan untuk mengalokasikan unit dari keuntungan secara keseluruhan.
Pendekatan ini hampir sama dengan metode pembagian laba (profit split method/PSM). Perbedaannya, GFA menggunakan formula yang sudah ditentukan sebelumnya untuk mengalokasikan keuntungan, sedangkan PSM merupakan metode transfer pricing yang mengalokasikan laba antarentitas dalam grup perusahaan dengan melihat kontribusi dan analisis kesebandingan (OECD, 2017).
Teknis dari penerapan konsep GFA adalah mengalokasikan pendapatan perusahaan di seluruh yurisdiksi perpajakan berdasarkan proporsi tertentu. Formula yang digunakan untuk menetapkan proporsi itu didasarkan pada beberapa kombinasi dari penjualan, aset, dan penggajian yang berasal dari laporan keuangan konsolidasi grup perusahaan untuk kemudian diuji berapa kontribusi dari masing-masing entitas.
Menurut Pankiv (2017), GFA sudah pernah diterapkan oleh negara yang menganut sistem federasi seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Swiss. Masing-masing negara mempunyai versi tersendiri dalam mengimplementasikan GFA. Sebagai contoh, di Kanada GFA diterapkan dengan membagi penghasilan dengan menggunakan formula dua faktor kontribusi masing-masing provinsi (Durst, 2015).
Pendekatan GFA dirasa dapat mencerminkan keadaan ekonomi yang sebenarnya, terutama karena memperlakukan grup perusahaan multinasional sebagai entitas yang terkonsolidasi. Selain itu, pendekatan GFA dapat mengurangi kompleksitas yang terjadi dalam sistem pajak dan dapat meminimalisasi beban administrasi pada perusahaan multinasional sehingga perusahaan tidak lagi harus mengalokasikan penghasilan atau pengeluaran masing-masing negara untuk tujuan pajak (Pankiv, 2017).
Kondisi ini pun akan mengurangi subjektivitas dalam penerapan aturan pajak, karena alokasi pajak hanya akan dilakukan atas penghasilan yang benar-benar direalisasikan. Akibatnya, kepastian mengenai jumlah pajak yang terutang, baik dari sisi pemerintah maupun wajib pajak, akan semakin meningkat.
Namun demikian, upaya mengganti ALP dengan GFA akan membutuhkan proses yang panjang agar dapat kompatibel dengan sistem pajak internasional dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang ada.
Walaupun dalam beberapa hal GFA lebih baik dari ALP, bukan berarti GFA merupakan konsep yang paling baik karena GFA juga mempunyai beberapa kelemahan. Salah satunya, GFA dapat menimbulkan perpajakan berganda di lebih dari satu yurisdiksi. Koordinasi yang substansial mengenai formula, baik komponen maupun bobot dari masing-masing komponen, yang ditetapkan juga diperlukan agar tercipta keseragaman basis pajak.
Lebih lanjut, berdasarkan Paragraf 1.32 OECD Guidelines 2017, penerapan prinsip GFA tidak disetujui oleh OECD karena akan mencurahkan sumber daya yang besar dan membutuhkan suatu konsensus. Meskipun demikian, konsep ini bukan tidak mungkin untuk diterapkan.
Salah satunya dapat dilihat dari proyek EU Common Consolidated Corporate Tax Base (CCCTB) (Durst, 2015). Sayangnya, hingga kini proyek CCCTB tersebut masih belum menunjukkan perkembangan yang menjanjikan.
Pengalaman Uni Eropa dengan CCCTB tersebut menyiratkan bahwa konsensus pajak—bahkan di kawasan yang relatif memiliki kesamaan pandangan ekonomi dan politik—bukanlah sesuatu yang mudah untuk diwujudkan, apalagi di tingkat global.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.