Bambang Subianto
,INDONESIA tengah memasuki tahun politik. Berkaca dari gelaran pemilihan umum (pemilu) sebelumnya, pertarungan gagasan tentang pajak pada masa-masa kampanye sangatlah minim. Kalaupun ada, sebatas ‘formalitas’ dengan berbicara masalah mengenai penerimaan pajak.
Materi debat capres dan cawapres lebih kepada pengeluaran anggaran dalam bentuk program kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, dan subsidi. Publik disuguhkan dengan rencana-rencana pengeluaran negara untuk kesejahteraan rakyat, tanpa melihat penerimaan negaranya.
Seperti kita tahu, ada 2 fakta menarik tentang isu perpajakan dalam penyelenggaraan pemilu di Ghana dan Amerika Serikat (AS). Kandidat Presiden Ghana pada 2016, Nana Akufo-Addo, mengampanyekan kebijakan penurunan pajak korporasi dari 25% menjadi 20%.
Nana Akufo-Addo membangun narasi sebagai berikut, “My approach is not going to be tax, borrow and spend. My priority will be to reduce the cost of doing business, … and to make Ghanaian economy become globally competitive.”
Narasi pajak itu sukses mengantar Nana Akufo-Addo menjadi Presiden Ghana. Namun, pada kenyataannya, kondisi fiskal Ghana sedang defisit dengan beban utang yang tinggi. Akhirnya, pemerintah mengeluarkan pungutan pajak baru yang bertolak belakang dengan janji kampanye.
Untuk AS, salah satu yang menarik perhatian adalah saat pemilihan presiden pada 2020. Saat masa kampanye, Joe Biden secara terang-terangan menentang incumbent Donald Trump yang menurunkan pajak korporasi dari 35% menjadi 21%.
Joe Biden mengusulkan kenaikan pajak untuk orang kaya dan korporasi. Dia membangun narasi pajak untuk mewujudkan asas keadilan, memberikan kesejajaran (level playing field) iklim bisnis korporasi besar dengan warga negara biasa, dan memangkas kesenjangan kekayaan yang makin tinggi.
Narasi pajak tersebut memikat kalangan serikat buruh dan mendapatkan simpati dari masyarakat luas. Joe Biden bahkan dengan bangga menyebut diri sebagai presiden yang paling pro serikat pekerja (most pro-labor union president).
Pada kenyataannya, narasi kuat menyangkut pajak seperti di Ghana dan AS tersebut masih belum kita jumpai di Indonesia. Padahal, pajak menjadi penyumbang terbesar dalam pendapatan negara. Pertanyannya, bagaimana cara membangun narasi pajak sebagai isu strategis yang dibicarakan pada tahun politik?
PEMILU bukan hanya soal memilih pemimpin. Agenda ini terkait juga dengan transformasi pembangunan secara berkelanjutan (sustainable transformations). Beck dan Jasanoff (2021) berpendapat sociotechnical imaginaries bisa menjadi kerangka kunci yang relevan untuk transformasi yang berkelanjutan.
Bila menggunaan perspektif sociotechnical imaginaries saat membangun narasi pajak maka ada 2 level pentahapan yang perlu dilewati, yaitu discoursive level dan performative level.
Pertama, discoursive level atau level wacana. Yousif Hassan (2020) menekankan peran dari sociotechnical imaginaries dalam memposisikan pemerintah pada era sharing economy. Bahasan ini menarik untuk menggali mimpi (imaginaries) calon presiden terkait isu perpajakan pada era sharing economy tersebut.
Sebelumnya, pada 2019, Roberta F. Mann menulis artikel di McGill Law Journal berjudul I Robot: U Tax? Considering the Tax Policy Implications of Automation. Dia membahas seputar kebijakan pajak, otomatisasi oleh robot, sistem pajak di AS, dan artificial intelligence dalam perpajakan.
Konteks yang diambil dalam tulisan Roberta F. Mann memang di AS, negara yang presidennya bisa merombak sistem pajak secara drastis. Ketika Donald Trump menjabat, dia mengesahkan Undang Undang Tax Cut and Jobs Act (TCJA) yang merubah sistem perpajakan AS dari worldwide system menjadi territorial system.
Sebaliknya, saat Joe Biden menang pemilu dan menggantikan Trump, dia mengeluarkan kebijakan berupa kenaikan tarif pajak korporasi. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan kebijakan Trump yang menurunkan pajak korporasi.
Jadi, pada discoursive level ini, calon presiden harus bisa membangun narasi pajak yang kekinian serta solutif sesuai dengan tantangan pada era sharing economy dan gig’s economy. Dengan demikian, gagasan yang ditawarkan mampu merebut simpati masyarakat.
Kedua, performative level. Pada level ini, narasi pajak yang telah dibangun tidak berhenti pada tataran janji kampanye. Bila calon presiden itu memenangkan pemilu, janji terkait dengan pajak itu menjadi kontrak politik yang harus dilaksanakan.
Misalnya, janji Joe Biden untuk menaikkan pajak korporasi saat kampanye. Dia bisa melaksanakannya. Forbes (2023) mencatat inisiatif Joe Biden atas pajak korporasi tersebut membuat AS memiliki ruang fiskal yang memadai untuk pembangunan infrastruktur.
Nyatanya, kecenderungan memajaki orang kaya (high networth individual) juga sudah dilakukan Indonesia. Melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, orang kaya berpenghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 35% atau naik dari sebelumnya sebesar 30%.
Sebenarnya, masih banyak gagasan baru yang bisa dielaborasi calon presiden peserta pemilu 2024. Misalnya, pemberlakukan pajak kekayan (wealth tax), pengawasan pajak berbasis artificial intelligence, kebijakan untuk bergabung menjadi anggota OECD, dan lain sebagainya.
Isu strategis selanjutnya terkait dengan sistem inti administrasi perpajakan (coretax system) yang ditargetkan selesai pada 2024. Bagaimana calon presiden mampu menanggapi sistem inti administrasi perpajakan ini? Apakah sudah cukup atau perlu disempurnakan dengan menginternalisasi konsep psychological engineering yang telah dilakukan Estonia. Seperti kita ketahui, Estonia merupakan negara dengan sistem perpajakan terbaik di dunia selama 9 tahun berturut-turut.
Akhirnya, isu strategis pajak pada tahun politik tidak hanya menjadi mimpi dalam sebuah narasi (imaginaries), tapi bisa dipertanggungjawabkan kepada publik dengan tingkat performative yang tinggi.
Biarkan publik menilai sekuat apa gagasan dan mimpi (imaginaries) yang ditawarkan calon presiden dapat memunculkan pygmalion effect, yaitu harapan seseorang kepada orang lain yang akan memengaruhi kepercayaannya (trust). Tax is all about trust (OECD).
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.