Dengan tersedianya insentif pajak, apakah otomatis mengundang wajib pajak untuk memanfaatkannya? Pertanyaan menarik ini mendasari penelitian yang dilakukan oleh Johannes Abeler dan Simor Jager yang hasilnya dipublikasikan pada 2015.
Terkadang, pemerintah suatu negara mendesain kebijakan insentif pajak pada tataran konsep dan gagasan dengan benar. Namun, Abeler dan Jager menduga desain yang dibuat terlalu menggebu-gebu justru berpotensi memunculkan sulitnya implementasi pada tataran administrasi.
Permasalahan implementasi ini makin sulit jika regulasi yang dituangkan juga susah untuk dipahami. Alhasil, jumlah peminatnya belum tentu sesuai ekspektasi. Implikasinya, biaya kepatuhan justru meningkat.
Pasangan Profesor Ekonomi St. Anne’s College dan Peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) tersebut mencoba menguji dugaan tersebut yang hasilnya kemudian dituangkan dalam jurnal yang berjudul “Complex Tax Incentives”.
Jurnal terbitan American Economic Journal: Economic Policy ini mengupas hasil pengujian yang dilakukan melalui eksperimen terhadap pembentukan persepsi dan pengambilan keputusan wajib pajak ketika ditempatkan pada dua konteks yang berbeda, yaitu sistem pajak yang kompleks dan yang sederhana.
Ternyata, ketika insentif pajak diperkenalkan dalam suatu sistem pajak yang sudah membuat wajib pajak cukup pusing, keberadaan relaksasi tersebut cenderung terabaikan karena sulitnya memahami relevansinya dengan kewajiban pajak sebelumnya.
Sebaliknya, ketika wajib pajak tersebut ditempatkan dalam sistem pajak yang relatif lebih sederhana dan taxpayers friendly, mereka lebih dapat mempertimbangkan penggunaan insentif tersebut secara rasional.
Kemudian, terlepas dari bagaimana sistem pajak yang sudah ada, kompleksitas insentif pajak yang ditawarkan akan memengaruhi tingkat rasionalitas wajib pajak dalam mengambil keputusan, yaitu memanfaatkan insentif tersebut atau tidak.
Hasil ini wajar, sebab wajib pajak tidak ingin mengambil risiko adanya kesalahan administratif atau penghitungan kewajiban pajaknya yang baru dan pada akhirnya justru mendapat sanksi atau konsekuensi hukum lainnya.
Meski demikian, Abeler dan Jager juga melihat adanya respons yang cukup bervariatif yang mungkin bergantung pada karakteristik wajib pajaknya. Sayangnya, hal tersebut tidak mereka uraikan.
Dapat dipahami bahwa kompleksitas insentif pajak sering tidak terhindarkan. Selain dibutuhkan dalam waktu cepat, fasilitas tersebut juga perlu dijaga agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang bertanggungjawab. Akibatnya, banyak insentif pajak yang membutuhkan extra effort dari wajib pajak untuk memahami dan melaksanakannya.
Kedua akademisi tersebut mengindikasikan pentingnya proses pembelajaran wajib pajak yang butuh fasilitasi dan komunikasi yang efektif dari otoritas pajak. Harapannya, keputusan yang lebih rasional dapat diupayakan wajib pajak.
Upaya ini penting, khususnya pada masa krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini. Insentif pajak berbagai negara ditargetkan pada wajib pajak terdampak yang sering kali bukan kelompok yang dapat secara cepat memahami pemanfaatan insentif pajak.
Kesimpulannya, kompleksitas insentif pajak tetap penting untuk diminimalkan, terutama kemudahan untuk dipahami dan minimnya risiko multitafsir. Namun, jika kerumitan tersebut tidak terhindarkan, komunikasi dan layanan yang masif perlu dimaksimalkan.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.