Muhammad Dahlan
,SALAH satu isu perpajakan yang dapat dijadikan bahan diskusi dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2024 adalah masih rendahnya tax ratio Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya. Secara sederhana, tax ratio adalah persentase dari jumlah penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) dalam suatu periode tertentu.
Berdasarkan pada Revenue Statistics in Asia and the Pacific yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), tax ratio Indonesia pada 2021 adalah 10,9%. Performa tersebut bergerak naik sebesar 0,8 poin persentase dibandingkan dengan tax ratio pada 2020 sebesar 10,1%.
Di kawasan Asia Pasifik, tax ratio Indonesia pada 2021 hanya lebih baik dari Bhutan (10,7%), Pakistan (10,3%), dan Laos (9,7%). Selebihnya, masih jauh panggang dari api jika dibandingkan dengan rata-rata negara OECD (34,1%) dan Asia Pasifik (19,8%).
Di Kawasan Asean-5, tax ratio Indonesia berada pada posisi buncit dibandingkan dengan Malaysia (11,8%), Singapura (12,6%), Thailand (16,4%), dan Filipina (18,1%). Walaupun mungkin terdapat perbedaan formula penghitungan tax ratio, data dari OECD tersebut paling tidak dapat memberikan sedikit gambaran mengenai posisi Indonesia.
Berdasarkan pada data tersebut, terlihat jelas pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh siapa saja pemimpin Indonesia nantinya. Pekerjaan rumah itu adalah meningkatkan kapasitas pemerintah dalam pengumpulan pajak.
Hal tersebut penting karena untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, peningkatan tax ratio mutlak dilakukan. Menurut hasil studi, tax ratio dan pertumbuhan ekonomi adalah 2 hal yang saling berkaitan (McNabb, 2018).
JIKA berbicara tentang tax ratio dan perekonomian, salah satu isu yang diperhatikan juga adalah transfer pricing. Secara konsep, transfer pricing adalah penentuan harga transfer atas transaksi yang dilakukan antardivisi, unit, atau segmen bisnis dalam satu perusahaan atau grup untuk mencapai efisiensi (Trang, 2016).
Jika dilakukan oleh perusahaan yang beroperasi di banyak yurisdiksi maka isu transfer pricing akan secara tidak langsung berkaitan dengan perbedaan rezim pajak, sosial, kultural, dan politik di tiap negara.
Dengan demikian, perusahaan akan berusaha untuk memaksimalkan laba. Secara bersamaan, perusahaan akan meminimalkan pajak yang harus dibayar di negara tempat mereka beroperasi melalui mekanisme transfer pricing (Borkowski, 1996).
Pada akhirnya, isu transfer pricing tidak hanya untuk kepentingan efisiensi perusahaan tapi juga menyisakan celah bagi motif memperkecil pajak. Di Indonesia, isu transfer pricing cukup relevan dengan rendahnya tax ratio. Pasalnya, struktur penerimaan pajak Indonesia sangat tergantung korporasi.
Berdasarkan pada Laporan Kinerja DJP Tahun 2022, penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan menyumbang hampir 20% dan PPh orang pribadi hanya sekitar 0,67% dari total seluruh penerimaan pajak (termasuk PPh migas).
Hal tersebut berbanding terbalik dengan negara-negara OECD. Rata-rata penerimaan PPh dari korporasi negara-negara OECD hanya 10%. Sementara itu, penerimaan PPh dari orang pribadi menyumbang lebih dari 20% total penerimaan pajak.
Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap PPh badan mengakibatkan makin sulitnya upaya untuk mendongkrak tax ratio. Terlebih, aksi penggerusan basis pajak juga dilakukan oleh perusahaan melalui mekanisme transfer pricing.
Jadi, secara tidak langsung, aksi transfer pricing yang dilakukan oleh korporasi bisa berpengaruh terhadap rendahnya tax ratio. Tidak hanya terjadi di Indonesia, situasi tersebut juga dialami negara berkembang lainnya karena tingginya proporsi PPh dari korporasi.
TERKAIT dengan isu transfer pricing dan rasio pajak terhadap PDB, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah memastikan tidak ada manipulasi harga atas transaksi afiliasi. Hal ini bisa dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan pemeriksaan khusus transfer pricing.
Akan tetapi, proses tersebut hanya dapat dilakukan ketika terdapat kemampuan dan kemauan sumber daya manusia (SDM) otoritas untuk mendalami isu transfer pricing. Dengan demikian, peningkatan kapasitas dan kualitas pegawai DJP terkait isu perpajakan internasional merupakan sesuatu keharusan.
Di sisi lain, hasil pemeriksaan transfer pricing selama ini cenderung tidak disetujui oleh wajib pajak. Alhasil, proses berlanjut pada tingkat keberatan dan banding. Hal ini tentunya akan menimbulkan tambahan compliance cost bagi wajib pajak dan tambahan waktu karena proses litigasi tidaklah cepat.
Oleh karena itu, mitigasi isu transfer pricing dengan tujuan untuk peningkatan tax ratio dapat dilakukan dengan langkah nonlitigasi melalui proses mutual agreement procedure (MAP) dan advance pricing agreement (APA).
Penggunaan MAP dan APA oleh perusahaan, terutama korporasi multinasional, harus terus didorong sehingga terdapat kepastian dalam penentuan harga transfer. Penentuan hak pemajakan yang akan diperoleh Indonesia juga menjadi lebih pasti. Basis pajak juga berpotensi tidak tergerus lebih dalam.
Terakhir, karena aktivitas transfer pricing lebih banyak terkoneksi dengan perusahaan besar, otoritas perlu menerapkan skema kepatuhan kooperatif (cooperative compliance). Langkah ini dilakukan agar tercipta rasa saling percaya antara otoritas dan wajib pajak.
Cooperativee compliance diperlukan agar terdapat perubahan paradigma dari rezim peningkatan kepatuhan pajak berbasis penegakan hukum menjadi pendekatan yang lebih responsif dan kolaboratif (Larsen dan Oats, 2019).
Hal tersebut akan berdampak positif karena penentuan harga transfer, metode, dan pendekatan transfer pricing dapat dikomunikasikan secara lebih baik antara wajib pajak dan otoritas, tanpa ada praduga penghindaran pajak di dalamnya.
Transfer pricing merupakan salah satu isu perpajakan yang kompleks sehingga diperlukan komitmen pemerintah untuk menangani hal ini. Siapa pun pemimpinnnya, dorongan dan dukungan kepada otoritas untuk melindungi basis pajak harus dilakukan.
Harapannya, pemerintah Indonesia mendapatkan hak pemajakan yang adil atas aktivitas ekonomi perusahaan. Situasi itu pada akhirnya akan turut mendongkrak rasio pajak.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah menghadapi masalah transfer pricing sama seperti menangani isu strategis seperti masalah pangan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Semua dilakukan demi melindungi kepentingan nasional. Peningkatan tax ratio adalah bonus demi menyejahterakan rakyat Indonesia.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.