Para narasumber dan peserta webinar bertajuk Pajak dalam Pandangan Syariah dan Sejarah Umat Islam.
JAKARTA, DDTCNews - Indonesian Tax Centre in the United Kingdom (Intact UK) bersama Ikatan Ahli Ekonomi Islam United Kingdom (IAEI UK) menggelar webinar pajak pada Selasa (29/8/2023).
Webinar bertajuk Pajak dalam Pandangan Syariah dan Sejarah Umat Islam diikuti pelajar, akademisi, pengambil kebijakan, dan profesional. Ketua Intact UK Bagus Suyanto mengatakan di negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia, diskursus tentang topik itu seharusnya sering terjadi.
“Seharusnya menjadi diskusi yang mainstream di kalangan para pembuat kebijakan maupun akademisi,” ujarnya, dikutip dari keterangan resmi, Rabu (30/8/2023).
Ketua IAEI UK Muhammad Rizky Rizaldy berharap forum seperti ini dapat menjadi jembatan keberagaman pandangan dari umat Islam mengenai pajak. Dengan demikian, diskusi akan dapat menghasilkan inovasi dalam pengelolaan keuangan publik.
Dalam acara ini, Associate Professor Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Dodik Siswantoro mengatakan tujuan syariah pada suatu kebijakan publik seperti pajak adalah untuk edukasi individu, penegakan keadilan, dan kepentingan publik.
Dodik juga memaparkan contoh anggaran yang digunakan pada zaman Nabi Muhammad, zaman kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, dan zaman Turki Usmani era Tanzimat. Ada istilah pajak seperti jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (bea cukai).
“Banyak hal bisa digali dari anggaran sektor publik zaman Nabi Muhammad yang masih relevan dengan konteks saat ini. Beberapa komponen saat ini malah digunakan oleh negara maju, misalnya dalam hal jaminan sosial,” katanya.
Menurutnya, penerapan sumbangan atau sedekah sebagai sumber pendapatan APBN juga bisa menjadi salah satu solusi yang diterapkan pada masa mendatang di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama Penyuluh Pajak Madya dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Barat dan Jambi Gusfahmi Arifin memaparkan tentang pajak dalam syariah Islam. Dalam materi yang dibawakan, dia juga membahas mengenai zakat dalam konteks pajak.
“Zakat harus menjadi pengurang pajak (kredit pajak), bukan hanya sebagai pengurang penghasilan,” ujarnya.
Gusfahmi juga menegaskan pajak untuk kepentingan rakyat yang tertuang di APBN. Penggunaannya juga diawasi oleh pihak eksternal, seperti BPK dan KPK. Hal ini berbeda dengan pungutan oleh shahibul maks yang digunakan untuk kepentingan diri sendiri dan tidak ada pengawasan oleh pihak lain. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.