Anggota Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun. (Foto: DDTCNews)
BERLANJUTNYA shortfall penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir telah memaksa pemerintah dan DPR bekerja keras mencari cara-cara di luar kebiasaan untuk dapat segera menyudahi sekaligus membalikkan tradisi tersebut RUU Pengampunan Pajak adalah salah satu opsi yang dinilai dapat mewujudkan harapan itu.
Lalu bagaimana pandangan parlemen terhadap RUU yang juga diniatkan sebagai salah satu milestone reformasi perpajakan nasional itu? Untuk mengetahui lebih dalam persoalan ini, beberapa waktu lalu DDTC News menemui anggota Komisi XI DPR dari Partai Golkar Muhammad Misbakhun untuk sebuah wawancara. Petikannya:
Ada kekhawatiran RUU Tax Amnesty terlambat diundangkan. Komentar Anda?
DPR dan pemerintah terus bekerja menyelesaikan RUU Pengampunan Pajak. Kami optimistis RUU ini dapat selesai tepat waktu. Kami menyadari, urgensi tax amnesty bagi Indonesia begitu mendesak. Tax amnesty menjadi terobosan untuk meningkatkan basis pajak dan tax ratio di masa mendatang.
Ketika mengambil kebijakan ini, memang ada banyak hal yang harus diabaikan. Sebab kalau tax amnesty tak dilakukan, wajib pajak (WP) cenderung terus menyimpan uangnya di luar negeri. Namun, pemerintah tetap perlu berhati-hati dan memperhatikan berbagai pertimbangan yang ada.
Perlu juga dipahami, bahwa tax amnesty juga merupakan upaya mewujudkan revolusi mental yang menjadi keinginan Presiden Joko Widodo. Ini dikarenakan tax amnesty akan menerobos banyak hal di luar prinsip-prinsip yang ada, seperti prinsip keadilan dalam perpajakan.
Dalam pembahasan di DPR, seperti apa sih tax amnesty yang akan diterapkan?
Secara garis besar, pengampunan pajak diberikan atas pelaporan harta bersih (net asset) dengan fitur uang tebusan dan repatriasi modal. Pemerintah tidak bisa menerapkan tarif umum karena berkaitan dengan uang tebusan. Tarif yang akan diterapkan berjenjang dari 2% sampai dengan 6%.
Tarif bersifat progresif sesuai dengan periode waktu pelaporan. Semakin cepat WP mengikuti kebijakan tax amnesty, maka tarif uang tebusan yang diberikan lebih rendah. Meski uang tebusan yang dibayar WP misalnya hanya sebesar 6%, namun pelaporan aset yang banyak akan memperbesar potensi penerimaan.
Dan ke depan WP tersebut mau tidak mau harus membayar pajak dengan tarif yang normal. Terkait dengan fitur repatriasi modal, pemerintah berencana menerbitkan obligasi tax amnesty. Nantinya setiap WP diwajibkan menyimpan uang hasil repatriasi dalam bentuk obligasi selama kurun waktu tertentu.
Pemerintah dan DPR sepakat hanya mengampuni sanksi pidana pajak saja, tidak termasuk sanksi pidana di luar pajak. Jika sanksi pidana di luar pajak seperti korupsi dan lainnya turut diampuni akan menjadi beban berat bagi pemerintah.
Apa saja komponen pendukung kebijakan tax amnesty?
Kesiapan sistem administrasi dan teknologi informasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi hal penting yang perlu diperhatikan. Belajar dari kebijakan sunset policy yang pernah dilakukan, sistem administrasi pajak tidak bisa membedakan siapa yang ikut program sunset policy dan yang tidak.
Penyebabnya, tidak ada pemisahan sistematis dalam pelaporan surat pemberitahuan (SPT) antara WP yang mengikuti sunset policy dengan WP yang tidak mengikuti. Pada akhirnya DJP kesulitan mendeteksi perilaku WP di tahun pajak berikutnya.
Selain itu, sistem database DJP harus disempurnakan agar bisa menghimpun semua data dan informasi aset yang dilaporkan WP. DJP harus menjaga kerahasiaan data dan informasi tersebut. Jangan sampai pihak-pihak lain bisa mengaksesnya.
Lalu bagaimana cara mengecek kebenaran harta yang dilaporkan? Selama tidak ada data pembanding, kebenaran aset yang dilaporkan tidak bisa diverifikasi. Untuk itu, pemerintah harus mendorong WP melakukan full disclosure (deklarasi aset secara penuh).
Maksudnya, tax amnesty berkaitan erat dengan keterbukaan data perbankan ?
Kebijakan tax amnesty memang tidak terlepas dari era keterbukaan data perbankan. Mengenai kerahasiaan data perbankan, Undang-Undang (UU) Perbankan secara jelas sudah mengatur ketentuannya.
Namun, selama ini data perbankan tidak berarti tidak bisa diakses sama sekali. Saat menangani kasus pajak, DJP tetap bisa meminta data WP pada bank, meskipun terbatas dan bersifat tidak langsung (indirect).
Kondisi tersebut dianggap masih belum ideal, karena dalam praktiknya masih ada kesulitan maupun hambatan. Pemerintah dan DPR berusaha mencari titik temu guna menciptakan komunikasi yang baik antara kedua pihak.
Risiko pelarian modal (capital filght) akibat era keterbukaan informasi juga perlu diperhatikan. Jangan sampai masyarakat justru tidak memiliki trust untuk menyimpan dananya di Indonesia, karena tidak adanya perlindungan hukum yang menjamin penggunaan data perbankan.
Apa saran Anda untuk DJP dalam mempersiapkan tax amnesty?
Sebagai pihak yang bertugas memungut pajak, DJP dituntut untuk bisa membangun sistem kelembagaan dan budaya organisasi yang baik, serta mampu menciptakan sistem perpajakan yang bisa membuat WP terlayani dengan baik.
Terlebih jika tax amnesty sudah diterapkan, perlu peningkatan kapasitas dan kompetensi internal DJP, serta membangun motivasi bahwa tugas yang diemban merupakan amanat negara yang harus dijalankan sebaik mungkin.
Harus disadari tugas mengumpulkan penerimaan negara lebih dari seribu triliun itu tidak mudah. Saya pikir, DJP harus diberikan dorongan politik yang kuat. Urusan penerimaan pajak ini tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab DJP.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.