Kantor pusat OECD di Paris, Prancis. (Foto: oecd.org)
PARIS, DDTCNews—Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis laporan yang berisikan perspektif negara berkembang terhadap proposal pemajakan pajak digital melalui pendekatan Pilar Satu dan Pilar Dua.
Perspektif negara berkembang terhadap proposal pemajakan ekonomi digital itu tertuang dalam laporan OECD berjudul ‘Tax Co-operation for Development: Progress Report’ yang dipublikasikan pada 9 Juli 2020.
Dalam laporan tersebut, OECD mencatat negara berkembang mendukung diterapkannya suatu mekanisme untuk memajaki perusahaan digital yang beroperasi di yurisdiksinya tanpa adanya kehadiran fisik.
Meski begitu, terdapat isu-isu teknis yang menjadi kekhawatiran bagi negara berkembang. Misal, negara berkembang khawatir dengan kompleksitas mekanisme pengenaan pajak atas perusahaan digital multinasional.
"Beberapa negara berkembang juga mengkhawatirkan adanya kesulitan dalam memverifikasi informasi keuangan dari perusahaan digital multinasional," tulis OECD sebagaimana dikutip Senin (13/7/2020).
Selain itu, negara-negara berkembang terutama negara berpenghasilan rendah juga khawatir pengalokasian laba kepada yurisdiksi market ini tidak memiliki dampak signifikan terhadap penerimaan pajak.
Negara berkembang juga khawatir tidak bisa mengumpulkan pajak dari perusahaan digital multinasional karena rendahnya jumlah konsumen lokal, padahal kehadiran ekonomi dari perusahaan digital di suatu negara bisa jadi tergolong signifikan.
Mayoritas negara berkembang juga menolak arbitrase yang mengikat dan wajib, tetapi masih terbuka dengan opsi mekanisme penyelesaian sengketa pajak lainnya. Ini juga dikarenakan rendahnya kapasitas otoritas pajak negara berkembang dalam menghadapi sengketa.
Selain itu, beberapa negara berkembang mengusulkan cakupan usaha yang bisa dikenai pajak sesuai dengan Pillar 1 agar diperluas dan tidak hanya diperuntukkan bagi perusahaan digital multinasional yang berorientasi konsumen.
Meski demikian, OECD mencatat banyak negara berkembang sepakat perlakuan pajak bagi industri ekstraktif tidak perlu tercakup dalam Pilar Satu.
Terkait dengan Pilar Dua, negara berkembang khawatir tarif pajak minimum atas korporasi multinasional bakal membatasi kemampuan negara berkembang untuk memberikan insentif atas kegiatan investasi.
“Negara berkembang dengan tarif pajak penghasilan (PPh) badan tinggi mempertanyakan apakah Pilar Dua akan efektif mengurangi praktik profit shifting, apalagi jika tarif pajak minimum yang disepakati ternyata tidak tinggi," tulis OECD.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.