LANSKAP pajak internasional berubah sangat dinamis. Perubahan ini didorong adanya reformasi pajak, baik secara nasional tiap negara maupun secara internasional, sebagai upaya untuk mengantisipasi berbagai perkembangan ekonomi.
Dalam situasi tersebut, bersamaan dengan pesatnya perkembangan transaksi ekonomi antarnegara, potensi sengketa pajak juga muncul. Risiko sengketa tersebut tidak terkecuali berkaitan dengan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty.
Terkait dengan sengketa pajak internasional, terutama menyangkut P3B, Founder DDTC Darussalam pernah mengupas dan menganalisisnya. Darussalam bersama rekannya, Freddy Karyadi, mengulas sengketa dan perjalanan P3B Indonesia.
Ulasannya masuk dalam buku berjudul A Global Analysis of Tax Treaty Disputes yang diterbitkan Cambridge University Press pada 2017. Dengan Eduardo Baistrocchi –profesor hukum di London School of Economics—sebagai editor, buku ini mengupas pola dan analisis atas 1.610 kasus sengketa pajak terkait P3B dari 27 negara. Para pakar pajak dari 27 negara, termasuk Indonesia, berkontribusi dalam buku ini.
Dalam ulasannya, Darussalam dan Freddy menyatakan sejarah P3B Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks adanya keinginan untuk menarik foreign direct investment (FDI). Hal ini bisa dilihat dari dimilikinya P3B pertama Indonesia (dengan Belanda) di awal orde baru.
Selain itu, P3B yang dimiliki oleh Indonesia dipengaruhi oleh OECD dan UN Model dengan beberapa deviasi. Dalam buku tersebut, setidaknya ada 4 hal yang bisa disimpulkan dari analisis sengketa P3B terkait dengan Indonesia.
Pertama, pola sengketa yang dihadapi oleh Indonesia, di luar sengketa seperti certificate of domicile, secara umum sama dengan pola sengketa P3B secara global. Persoalan sengketa P3B di Indonesia lebih disebabkan oleh kelemahan sistem pajak internasional itu sendiri.
Kedua, doktrin substance over form, sering disebut doktrin anti-abuse, sering dipergunakan dan berperan penting dalam sengketa P3B di Indonesia. Ketiga, hakim pengadilan pajak umumnya telah mempertimbangkan berbagai referensi, misal case law, literatur akademis, dan OECD Commentary.
Keempat, meskipun Mutual Agreement Procedure (MAP) dan Advance Pricing Agreement (APA) baru diterapkan, terdapat prediksi keduanya akan meningkat seiring berjalannya waktu. Simak juga resensinya pada artikel ‘Mempelajari Pola Sengketa P3B Global’.
Ulasan para penulis dalam buku tersebut makin relevan untuk dibaca kembali pada saat ini. Terlebih, reformasi pajak masih terus berjalan. Dalam konteks Indonesia, pemerintah juga makin mengakomodasi sejumlah ketentuan terkait dengan pajak internasional yang sering kali berkaitan dengan P3B.
Buku ini masih sangat relevan tidak hanya bagi praktisi dan akademisi, tetapi juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Informasi mengenai pola sengketa P3B ini perlu dipertimbangkan untuk mendesain ketentuan domestik serta kebijakan P3B ke depannya.
Sudah membaca buku ini? Jika belum, silakan datang ke DDTC Library. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.