PADA 1 hingga 3 Desember 2016, Foundation for International Taxation (FIT) India bekerja sama dengan International Bureau Fiscal Documentation (IBFD) mengadakan International Taxation Conference dengan tema ‘BEPS and Beyond BEPS: A Year Later’. Dari Indonesia, DDTC yang diwakili B. Bawono Kristiaji menjadi salah satu pembicara di konferensi tersebut. Berikut laporannya:
Salah satu standar minimum yang harus diimplementasikan dari Proyek Anti-BEPS adalah Rencana Aksi 13 mengenai format baru dokumentasi transfer pricing (TP Doc). Di masa yang akan datang, perusahaan multinasional tidak hanya memberikan dokumentasi atas kewajaran transaksi hubungan istimewa yang dilakukannya saja.
Ada pula master file documentation yang memaparkan gambaran umum bisnis perusahaan multinasional serta Country by Country Reporting (CbCR) yang berisi tentang indikator keuangan, pembayaran pajak, hingga fungsi yang dijalankan dari setiap entitas yang berada dalam pelaporan konsolidasi grup. CbCR bisa diperoleh melalui skema pertukaran informasi antarotoritas pajak.
Risiko Sengketa Transfer Pricing
“Adanya format CbCR dapat membantu otoritas pajak untuk lebih mudah melakukan penilaian risiko sekaligus bahan pendukung pada saat audit!” ungkap panelis dalam sesi mengenai CbCR dan pertukaran informasi.
Akan tetapi, hal tersebut menggiring kepada pertanyaan berikutnya: apakah CbCR justru akan semakin menambah atau mengurangi sengketa?
Menurut Partner Research & Training dari DDTC, Indonesia Bawono Kristiaji Rencana Aksi 13 menyebutkan bahwa informasi dalam CbCR dipergunakan terutama untuk menelusuri risiko atas manipulasi transfer pricing maupun skema BEPS lainnya.
Informasi tersebut seharusnya bukan dijadikan dasar untuk melakukan koreksi (transfer pricing adjustment).
Sesungguhnya yang terpenting adalah melihat bagaimana reaksi otoritas pajak atas informasi yang biasanya tidak bisa diperoleh dalam format TP Doc .
“Ditakutkan terdapat penggunaan perspektif yang berlebihan atas apa yang disebut ‘fair share allocation’. Data tersebut justru menjadi godaan untuk dilakukannya koreksi dan cenderung berujung pada sengketa,” ujarnya.
Hak-hak Wajib Pajak Kian Terlupakan?
Hak-hak wajib pajak merupakan suatu koridor hukum yang mengatur bagaimana interaksi antara wajib pajak dengan otoritas pajak agar prinsip-prinsip pemungutan pajak dilaksanakan dengan baik. Dengan atau tanpa adanya CbCR, pelanggaran atas hak-hak wajib pajak merupakan persoalan yang kerap terjadi di negara berkembang.
Terlebih ketika bicara mengenai sengketa transfer pricing yang cenderung bicara tentang sengketa fakta. Di lapangan seringkali pengabaian atas upaya memahami bisnis dari perusahaan multinasional.
Selain itu, tidak ada perlindungan atas suatu permintaan yang tidak beralasan (protection from unreasonable demand) dari otoritas pajak, misalkan atas informasi yang tidak bisa diakses oleh wajib pajak. Terutama pada proses audit.
Selain itu, jumlah sengketa yang tinggi tidak diimbangi dengan upaya penyelesaian yang efektif dan efisien. Padahal kepastian hukum adalah salah satu hak wajib pajak yang paling mendasar.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.