PADA era digital dewasa ini, inovasi merupakan langkah awal bagi kemunculan bisnis rintisan (start up) di industri fintech (financial technology). Bisnis tersebut diadopsi dari bisnis yang sudah ada dan dikembangkan dengan bantuan teknologi digital dan dikemas sedemikian rupa hingga menarik bagi calon pelanggan mereka.
Salah satu bisnis start up di industri fintech yang saat ini sedang populer adalah bisnis dompet digital atau yang biasa dikenal dengan e-wallet. Bisnis dompet digital merupakan bisnis pembayaran digital dengan uang elektronik. Banyaknya pemain yang terjun di bisnis dompet digital membuat masyarakat leluasa memilih brand sesuai dengan kesukaannya.
Model bisnis perusahaan, menurut Harlan D. Platt, terbagi menjadi empat model sesuai dengan kondisi keuangan dan kondisi industrinya, yaitu eagle, tortoise, condor, dan dinosaur (Huibregtse and Avisha, 2016). Dari keempat model tersebut, perusahaan yang paling baik adalah perusahaan yang termasuk dalam eagle company.
Eagle company merupakan perusahaan yang terus memelihara keunggulan kompetitif dalam perubahan pasar serta berhasil untuk tetap untung di antara banyaknya perusahaan dan produk sejenis dalam industri yang sejenis. Beberapa pemain yang populer dalam bisnis dompet digital, seperti GoPay, OVO, Dana, LinkAja, dan Jenius dapat dikategorikan sebagai eagle company.
Seiring pertumbuhan bisnis dompet digital dalam industri fintech, konsep big data semakin dikenal secara luas. Big data merupakan sekumpulan teknik dan teknologi yang membentuk integrasi baru atas nilai besar yang tersembunyi dari sekumpulan banyak data yang berbeda, kompleks, dan pada skala yang masif.
Analisis big data sangat berguna, khususnya pada bisnis digital, karena dapat menyediakan informasi yang terperinci tentang kebutuhan pelanggan dan permintaan pasar (Huibregtse and Avisha, 2016). Penggunaan big data memiliki keuntungan, antara lain pengurangan biaya, penghematan waktu, dan pengambilan keputusan bisnis yang lebih cerdas.
Dalam bisnis dompet digital, teknologi big data bertujuan untuk menggabungkan seluruh data pelanggan yang dihasilkan oleh sistem ke dalam platform analytics terpusat. Seluruh data pelanggan nantinya akan dianalisis guna mengetahui profil pelanggan dan potensi apa yang dapat digali sebagai strategi pengembangan bisnis.
Berdasarkan OECD (2017), harta tidak berwujud bukan merupakan aset fisik maupun aset keuangan. Dalam analisis transfer pricing, penting untuk mengidentifikasi harta tidak berwujud yang relevan dan spesifik. Big data analytics dapat dikategorikan ke dalam intellectual property (IP) yang merupakan bagian dari harta tidak berwujud.
Pembangunan dan eksploitasi IP merupakan kunci keberlangsungan usaha bisnis dompet digital dalam industri fintech. Hal ini dikarenakan IP ini sangat diperlukan dalam aktivitas utama bisnis. IP juga dapat dikatakan sebagai penggerak utama dari value creation (IBFD, 2015). Value yang terbentuk pada IP ini membuat IP ini semakin bernilai.
Dalam mengidentifikasi transfer pricing atas transaksi afiliasi, kontribusi anggota grup yang terkait value creation atas harta tidak berwujud harus dipertimbangkan dan dihargai dengan tepat. Menurut OECD (2017), pihak-pihak yang berkontribusi dalam value creation harus diberi kompensasi yang wajar atas kontribusinya.
Model Eksploitasi IP
DARI tiga model bisnis, terdapat 2 model bisnis yang umum digunakan terkait dengan eksploitasi IP, antara lain royalty model dan cost-sharing model (IBFD, 2015). Pada skema royalty model, pemilik harta tidak berwujud memberikan lisensi kepada pihak afiliasinya untuk menggunakan IP.
Selanjutnya, pihak afiliasi akan membayar royalti pada tingkat harga tertentu atas penggunaan lisensi tersebut. Pada royalty model, kewajaran transfer pricing dilihat dari royalti yang dibayarkan kepada pemilik harta tidak berwujud dengan melakukan perbandingan dari sisi pihak independen.
Skema lainnya adalah cost-sharing model. Pada skema ini, biaya sehubungan dengan pembentukan dan pengembangan IP dilakukan secara patungan. Oleh karena itu, dalam eksploitasi IP, bukan hanya pemilik harta tidak berwujud saja yang mendapatkan remunerasi, pihak afiliasi lainnya yang terlibat seharusnya juga mendapat remunerasi.
Kewajaran transfer pricing pada cost-sharing model dilihat dari remunerasi yang diterima oleh masing-masing anggota grup apakah telah sesuai dengan kontribusinya. Pemilihan model bisnis yang tepat terkait eksploitasi IP dapat menentukan analisis transfer pricing yang akan digunakan dalam pengujiannya nanti.
Sebagai contoh, jika grup usaha suatu bisnis dompet digital memilih untuk menggunakan royalty model, atas royalti yang dibayarkan oleh pihak afiiliasinya dapat diuji dengan menggunakan metode comparable uncontrolled transaction (CUT). Dalam metode CUT, kewajaran tarif royalti pihak afiliasi dibandingkan dengan tarif royalti perusahaan pembanding pada situasi dan kondisi yang sebanding.
Jika cost-sharing model yang dipilih, atas remunerasi yang diterima diuji dengan menggunakan metode profit split method (PSM). Dalam metode PSM, kewajaran remunerasi yang diterima dibandingkan dengan kontribusi masing-masing anggota grup. Dalam perspektif transfer pricing, baik royalty model maupun cost-sharing model, royalti maupun remunerasi yang diterima tetap harus sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.