Ilustrasi.
PARIS, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengidentifikasinya setidaknya terdapat 3 bentuk presumptive tax yang berlaku di berbagai negara.
Ketiga bentuk yang dimaksud antara lain presumptive tax dalam bentuk pajak lump-sum, presumptive tax berbasis omzet atau indikator lainnya, serta presumptive tax berdasarkan kesepakatan antara otoritas dan wajib pajak.
"Semua rezim presumptive tax mengasumsikan besaran penghasilan kena pajak. Setiap rezim memiliki metode yang berbeda untuk mencapai asumsi tersebut. Makin akurat metode yang digunakan untuk mengukur laba entitas maka makin akurat presumptive tax yang diterapkan," tulis Mariona Mas-Montserrat dalam working paper yang bertajuk The Design of Presumptive Tax Regimes, dikutip Jumat (17/2/2023).
Rezim presumptive tax dalam bentuk pajak lump-sum merupakan presumptive tax yang paling sederhana, transparan, dan dapat diprediksi. Berkat kelebihan tersebut, biaya kepatuhan dan biaya administrasi yang timbul dari rezim pajak ini cenderung rendah.
Secara umum, pemajakan secara lump-sum ini banyak diterapkan atas wajib pajak berpenghasilan rendah yang tidak memiliki literasi untuk melaksanakan pencatatan dan pembukuan. Besaran pajak juga seringkali dibuat rendah guna meningkatkan kepatuhan sukarela.
Dalam rezim ini, wajib pajak tidak memiliki kewajiban untuk menghitung pajak terutang berdasarkan pada omzet atau indikator-indikator lainnya. Berkat hal tersebut, tidak ada potensi penghindaran pajak akibat underreporting.
Meski demikian, rezim presumptive tax ini juga memiliki kelemahan. Pajak lump-sum tidak memperhitungkan ability to pay dari wajib pajak. Akibatnya, kebijakan ini akan merugikan wajib pajak yang memiliki profitabilitas rendah atau sedang mengalami penurunan kegiatan usaha.
Mengenai presumptive tax berbasis omzet, OECD mencatat rezim ini tergolong paling sering diterapkan oleh banyak negara. Presumptive tax berbasis omzet lebih mencerminkan siklus usaha dan tergolong mudah diadministrasikan oleh wajib pajak.
Namun, presumptive tax berbasis omzet cenderung lebih menguntungkan wajib pajak dengan margin laba tinggi. Wajib pajak dengan margin laba rendah harus menanggung pajak efektif yang lebih besar akibat kebijakan ini.
Kelemahan lain dari presumptive tax berbasis omzet adalah adanya potensi bagi wajib pajak untuk melaporkan omzet yang lebih rendah dari yang sebenarnya.
Untuk menekan praktik underreporting, otoritas pajak perlu mempertimbangkan untuk menggunakan indikator lain guna menentukan jumlah pajak yang terutang. Indikator lain yang dapat dipertimbangkan antara lain cash flow, aset tetap, kekayaan, dan indikator lainnya yang dapat merepresentasikan penghasilan.
Terakhir, terdapat pula presumptive tax yang pengenaannya berdasarkan pada kesepakatan antara otoritas dan wajib pajak. Dalam penerapannya, wajib pajak perlu melaporkan estimasi penghasilannya untuk dibahas lebih lanjut dengan otoritas pajak. Kebijakan ini tidak direkomendasikan karena berpotensi menimbulkan korupsi serta biaya administrasi yang tinggi bagi otoritas pajak.
Untuk diketahui, presumptive tax seringkali diterapkan oleh otoritas pajak guna meningkatkan kepatuhan pada sektor tertentu yang sulit dipajaki (hard to tax sector). Rezim ini seringkali diterapkan atas wajib pajak yang melakukan pekerjaan bebas hingga UMKM. Upaya peningkatan kepatuhan tersebut dilakukan dengan menyederhanakan tata cara penghitungan dan pelaporan pajak.
Di Indonesia, presumptive tax diberlakukan dalam bentuk pengenaan PPh final dengan tarif sebesar 0,5% atas peredaran bruto bagi wajib pajak UMKM dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar per tahun. Skema ini telah diterapkan sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) 23/2018 hingga hari ini. Pengenaan PPh final bagi wajib pajak UMKM kini diatur dalam PP 55/2022. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.