JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah, melalui Ditjen Pajak (DJP), bisa memberi bantuan penagihan pajak kepada negara atau yurisdiksi mitra. Hal ini diatur dalam Pasal 20A UU KUP s.t.d.t.d UU HPP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 61/2023.
Pemberian bantuan penagihan pajak tentu akan menimbulkan biaya. Sesuai dengan ketentuan, biaya penagihan pajak akan ditanggung negara atau yurisdiksi mitra yang meminta bantuan jika nilai klaim pajak berhasil tertagih. Jika tidak berhasil, biaya tersebut akan ditanggung Indonesia.
“Dalam hal klaim pajak tidak dapat tertagih, biaya penagihan pajak yang sudah dikeluarkan oleh DJP ditanggung oleh negara [Indonesia],” bunyi penjelasan Pasal 7 huruf a UU KUP s.t.d.d UU HPP, dikutip pada Kamis (25/7/2024).
Dengan demikian, pihak yang menanggung biaya penagihan pajak tergantung klaim pajak yang diajukan bantuan bisa tertagih atau tidak. Jika DJP berhasil menagih maka biaya penagihan yang dibayarkan negara atau yurisdiksi mitra dicatat sebagai PNBP.
Untuk diketahui, biaya penagihan pajak merupakan biaya pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
Pemerintah menambahkan ketentuan mengenai bantuan penagihan pajak antarnegara melalui revisi UU KUP dalam UU HPP. Selain memberi bantuan penagihan pajak, pemerintah pun bisa mengajukan bantuan penagihan kepada negara atau yurisdiksi mitra.
Negara atau yurisdiksi mitra itu merupakan negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian internasional. Adapun perjanjian internasional yang dimaksud ialah perjanjian bilateral atau multilateral yang mengatur kerja sama bantuan penagihan pajak.
Perjanjian internasional tersebut meliputi 3 jenis perjanjian: (i) persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B); (ii) konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan; (iii) perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
Kendati merupakan wewenang menteri keuangan, permintaan dan pemberian bantuan penagihan pajak dilakukan oleh direktur jenderal (dirjen) pajak berdasarkan perjanjian internasional secara resiprokal.
Penerapan prinsip resiprokal berarti dirjen pajak dapat memberikan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra sepanjang mereka juga memberikan bantuan penagihan pajak yang setara kepada pemerintah Indonesia.
Misal, tindakan penagihan pajak akan dilakukan sampai dengan memberitahukan surat paksa dalam hal negara mitra atau yurisdiksi mitra melakukan bantuan sampai dengan memberitahukan surat paksa atau tindakan yang dapat dipersamakan dengan itu.
Bantuan penagihan pajak dapat dilakukan setelah diterima klaim pajak dari negara atau yurisdiksi mitra. Klaim pajak ini merupakan instrumen legal dari negara atau yurisdiksi mitra yang paling sedikit memuat: (i) nilai klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan; dan (ii) identitas penanggung pajak.
Atas klaim pajak tersebut, DJP akan melakukan tindakan penagihan pajak berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan di negara atau yurisdiksi mitra. Adapun klaim pajak ini menjadi dasar penagihan pajak.
“Nilai klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra kedudukannya dipersamakan dengan utang pajak. Oleh karena itu, atas nilai klaim pajak tersebut dilakukan tindakan penagihan pajak oleh dirjen pajak,” bunyi penjelasan Pasal 20A ayat (8) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.